Neraka dari
“Manajemen Musyrik”
Manufacturing Hope 2
Manufacturing hope tentu juga harus dilakukan untuk
bandara-bandara kita. Selain mencarikan jalan keluar untuk hotel-hotel yang ada
di Bali, selama mengikuti KTT ASEAN saya berkunjung ke pelabuhan perikanan
Benoa, melihat aset-aset BUMN yang tidak produktif di Bali dan diajak melihat
proyek Bandara Ngurah Rai yang baru.
Tanpa dilakukan survei pun semua orang sudah tahu
betapa tidak memuaskannya Bandara Internasional Ngurah Rai itu. Semua orang
ngomel, mencela, dan mencaci maki sesaknya, ruwetnya, dan buruknya. Bandara itu
memang tidak mampu menanggung beban yang sudah empat kali lebih besar daripada
kapasitasnya.
Memang, PT Angkasapura I, BUMN yang mengelola
bandara tersebut, sudah mulai membangun terminal yang baru. Tapi, terminal baru
itu baru akan selesai paling cepat dua tahun lagi.
Berarti selama dua tahun ke depan keluhan dari
publik masih akan sangat nyaring. Bahkan, keluhan itu akan bertambah-tambah
karena di lokasi yang sama bakal banyak kesibukan proyek. Bongkar sana, bongkar
sini. Pindah sana, pindah sini. Membangun terminal baru di lokasi terminal yang
masih dipakai tentu sangat repot. Lebih enak membangun terminal baru di lokasi
yang baru sama sekali.
Menghadapi persoalan yang begitu stres, hanya
hope-lah yang bisa di-manufacture! Karena itu, memajang maket bandara baru
tersebut besar-besar di ruang tunggu atau di tempat-tempat strategis lainnya
menjadi penting. Saya berharap, penumpang yang ngomel-ngomel itu bisa melihat
gambar bandara baru yang lebih lapang dan lebih indah. Perhatian penumpang
harus dicuri agar tidak lagi selalu merasakan sumpeknya keadaan sekarang,
melainkan diajak merasakan mimpi masa depan baru yang segera datang itu.
Demikian juga, PT Angkasapura II yang mengelola
Bandara Soekarno-Hatta harus membantu manufacturing hope itu. Caranya, ikut
membantu memasangkan maket bandara baru Ngurah Rai di lokasi Bandara
Soekarno-Hatta. Bahkan, maket baru Bandara Soekarno-Hatta sendiri juga harus
lebih banyak ditampilkan secara atraktif.
Tentu, sambil menunggu yang baru itu, bandara
yang ada harus tetap diperhatikan. Mungkin memang tidak perlu membuang uang
terlalu banyak untuk sesuatu yang dalam dua tahun ke depan akan dibongkar.
Tapi, tanpa membuat bandara yang ada ini lebih baik, orang pun akan kehilangan
harapan bahwa bandara yang baru itu kelak bakal mengalami nasib tak terurus
yang sama. Itulah sebabnya, khusus Bandara Soekarno-Hatta, manajemen
Angkasapura II akan melakukan survei persepsi publik yang bakal dilakukan oleh
lembaga survei yang kredibel dan independen.
***
Manufacturing hope kelihatannya juga harus lebih banyak diproduksi untuk
industri rekayasa. PT Dirgantara Indonesia (pembuatan pesawat), PT PAL Surabaya
(pembuatan kapal), PT Bharata Surabaya (mesin-mesin), PT Boma Bisma Indra
Surabaya-Pasuruan (mesin-mesin), PT INKA (pembuatan kereta api), dan banyak
lagi industri jenis itu sangat memerlukannya.
Semua BUMN di bidang ini sulitnya bukan main.
Kesulitan yang sudah berlangsung begitu lama. Di barisan ini termasuk Dok
Perkapalan IKI Makassar, Dok Perkapalan Koja Bahari Jakarta, dan industri
sejenis?yang menjadi anak perusahaan BUMN seperti jasa produksi milik PLN dan
perbengkelan di lingkungan BUMN lainnya. Beberapa di antaranya bahkan
sangat-sangat parah. PT PAL, misalnya, sudah terlalu lama merah dalam skala
kerugian yang triliunan rupiah.
PT IKI Makassar idem ditto. Sudah dua tahun
perusahaan galangan kapal terbesar di Indonesia Timur itu tidak mampu membayar
gaji karyawan. Perusahaan tersebut terjerumus ketika menerima order pembuatan
kapal penangkap ikan modern sebanyak 40 unit, tapi dibatalkan pemerintah di
tengah jalan. Kini 14 kapal ikan yang sudah telanjur jadi itu mengapung mubazir
begitu saja. Sudah lebih dari sepuluh tahun kapal-kapal modern itu berjajar
menganggur.
Bahan-bahan kapal yang belum jadi pun sudah
menjadi besi tua dan berserakan memenuhi kawasan galangan kapal itu. Peralatan
produksinya juga sudah menganggur bertahun-tahun. Salah satu di antaranya bisa
membuat ngiler siapa pun: crane 150 ton! Dok Perkapalan Surabaya yang ordernya
begitu banyak dan sibuk saja hanya punya crane terbesar 50 ton!
Dulu, sekitar 15 tahun yang lalu, saya pernah
mengkritik pemerintah di bidang itu. Saya menulis di media mengapa nasib
industri rekayasa kita begitu jelek.Mengapa kita impor permesinan
bertriliun-triliun setiap tahun, tapi industri rekayasa di dalam negeri
telantar berat. Bahkan, tokoh sekaliber B.J. Habibie pun tidak berhasil
mengatasinya.
Waktu itu saya sudah membayangkan alangkah hebatnya Indonesia kalau semua
potensi tersebut disatukan dalam koordinasi yang utuh. Kalau saja ada kesatuan
di dalamnya, kita bisa memproduksi pabrik apa pun, alat apa pun, dan kendaraan
apa pun. Pembangkit listrik, pabrik gula, pabrik kelapa sawit, pesawat, kapal,
kereta, motor, mobil, dan apalagi sepeda, semua bisa dibuat di dalam negeri.
Sebagai orang yang kala itu sering mengunjungi
pabrik-pabrik sejenis di Tiongkok, saya selalu mengeluh: alangkah lebih
modernnya peralatan yang dimiliki pabrik-pabrik kita jika dibandingkan dengan
pabrik-pabrik yang saya kunjungi itu. Peralatan yang dimiliki PT Bharata,
misalnya, jauh lebih modern daripada yang saya lihat di Tiongkok saat itu. Ahli
pesawat dari Eropa mengagumi modernya peralatan di PT Dirgantara Indonesia.
Kini, dalam posisi saya yang baru ini, saya tidak
bisa lagi hanya mengkritik. Tanggung jawab itu kini ditumpukkan di pundak saya.
Saya tidak boleh lupa bahwa saya pernah mengkritik pemerintah. Saya tidak boleh
mencari kambing hitam untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab. Tentu saya
juga menyadari bahwa saya bukanlah seorang yang genius seperti Pak Habibie.
Saya hanya mengandalkan hasil dari manufacturing hope.
Tidak mudah perusahaan yang sudah mengalami
kemerosotan yang panjang bisa bangkit kembali. Karena itu, saya harus
menghargai dan memuji upaya yang dilakukan manajemen PT Dirgantara Indonesia
(DI) belakangan ini. Rasanya, untuk bidang ini, DI akan bangkit yang pertama.
Thanks to kesungguhan Presiden SBY yang telah menginstruksikan pengadaan
seluruh keperluan militer dilakukan di dalam negeri. Kecuali peralatan sekelas
tank Leopard, helikopter Apache, atau kapal selam yang memang belum bisa dibuat
sendiri. Pesawat tempur sekelas F-16 Block 52 pun, tekad Presiden SBY tegas:
harus diproduksi di dalam negeri meski harus bekerja sama dengan pihak
luar.Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro juga sangat serius dalam mengontrol
pelaksanaan instruksi presiden itu.
Maka, PT DI kelihatannya segera mentas. Kegiatan
jangka pendek, menengah, dan panjangnya sudah tertata. Dalam waktu pendek ini,
sampai dua tahun ke depan, pekerjaannya sudah sangat banyak: membuat pesawat
militer CN-295 dalam jumlah yang besar. Order ini akan berkelanjutan menjadi
program jangka menengah karena PT DI juga sekaligus diberi hak keagenan untuk
Asia Pasifik. Sedangkan jangka panjangnya, PT DI memproduksi pesawat tempur
setara Block 52 bekerja sama dengan Korea Selatan.
Adanya kebijakan yang tegas dari Presiden SBY,
komitmen pembinaan yang kuat dari Kementerian Pertahanan, kapabilitas personel
PT DI yang unggul (terbukti satu bagian dari sayap pesawat Airbus 380 yang
gagah dan menarik itu ternyata selalu diproduksi di PT DI), dan fokus manajemen
dalam melayani keperluan Kementerian Pertahanan adalah kunci awal bangkitnya
industri pesawat PT DI.
Instruksi Presiden SBY itu juga berlaku untuk PT
Pindad. Maka, kebangkitan serupa juga akan terjadi untuk PT Pindad. Semoga juga
di PT Dahana. Karean itu, tidak ada jalan lain bagi PT PAL untuk tidak
mengikuti jejak PT DI. Kalau saja PT PAL fokus melayani keperluan pembuatan dan
perawatan kapal-kapal militer nasibnya akan lebih baik.
Apalagi, anggaran untuk peralatan militer kini
semakin besar. Menyerap semaksimal mungkin anggaran militer itu saja sudah akan
bisa menghidupi. Dengan syarat, pelayanan kepada keperluan militer itu sangat
memuaskan: mutunya dan waktu penyelesaiannya.
Lupakan dulu menggarap kapal niaga yang ternyata
merugikan PT PAL begitu besar. Lupakan menggarap bisnis-bisnis lain, apalagi
sampai menjadi kontraktor EPC seperti yang dilakukan selama ini. Semua itu
hanya mengganggu kefokusan manajemen dan merusak suasana kebatinan jajaran PT
PAL sendiri. Memang ada alasan ilmiah untuk mengerjakan banyak hal itu.
Misalnya untuk memanfaatkan idle capacity. Tapi,
godaan memanfaatkan idle capacity itu bisa membuat orang tidak fokus. Dalam
bahasa agama, “tidak fokus” berarti “tidak mengesakan”. “Tidak mengesakan”
berarti “tidak bertauhid”. “Tidak bertauhid” berarti “musyrik”. Memanfaatkan
idle capacity di satu pihak sangat ilmiah, di pihak lain bisa juga berarti
godaan terhadap fokus. Saya sering mengistilahkannya “godaan untuk berbuat
musyrik”. Padahal, orang musyrik itu masuk neraka. Nerakanya perusahaan adalah
negative cash flow, rugi, dan akhirnya bangkrut.
Kalaupun PT PAL kelak sudah fokus menekuni
keperluan militer, tapi masih juga rugi, negara tidak akan terlalu menyesal.
Tapi, kerugian PT PAL karena menggarap kapal niaga asing sangatlah menyakitkan.
Apalagi, kerugian itu menjadi beban negara. Rugi untuk memperkuat militer kita
masih bisa dianggap sebagai pengabdian kepada negara. Tapi, rugi karena
menggarap kapal niaga asing dan kemudian minta uang kepada negara sama sekali
tidak bisa dimengerti.
Hanya kepada orang-orang yang bisa fokuslah saya
banyak berharap. Hanya di tangan pimpinan-pimpinan yang fokuslah BUMN bisa
bangkit. (*)