Senin, 30 Juli 2012

Mudah mencari rumah? ke Rumah123.com aja...

Rumah atau tempat tinggal (papan) adalah salah satu kebutuhan primer bagi setiap manusia selain kebutuhan akan sandang dan pangan. Manusia membutuhkan rumah sebagai tempat untuk berlindung dari panasnya matahari, dari derasnya hujan, dan dari proses alamiah lainnya yang terjadi. Rumah akan memberikan rasa nyaman kepada si pemiliknya apabila bisa memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
1. Sesuai dengan lingkungan yang diinginkan si pemilik;
2. Mencirikan identitas (karakter) si pemilik;
3. Bentuk dan fungsinya seperti yang dinginkan pemilik.
Perkembangan pembangunan rumah (tempat tinggal) dari tahun ke tahun mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Dari mulai masyarakat perdesaan sampai dengan masyarakat perkotaan semua membutuhkan rumah. Semakin beragam pula bentuk dan type rumahnya. Dari mulai tipe RSH sampai perumahan elite di beberapa daerah, dari mulai Rumah Susun Sewa sampai dengan Apartemen mewah di daerah-daerah superblok di Kota-kota besar seluruh Indonesia, dari tanah di pinggiran kali sampai dengan tanah-tanah mahal di daerah yang memiliki nilai strategis yang tinggi..
Dan untuk proses jual beli untuk mendapatkan rumah sudah banyak caranya. Ada yang cara konvensional (dari mulut ke mulut), melalui broker properti, melalui iklan di majalah dan juga melalui media internet (on line). Dan salah satu cara mudahnya mencari properti secara online di Rumah123.com. Rumah123.com memberikan kesempatan kepada siapa saja, masyarakat Indonesia untuk memiliki rumah dengan slogan "a place to call home". Dan sekarang Rumah123.com mengadakan Rebutan rumah gratis sebagai kontes online terbesar yang diadakan oleh situs online properti di Indonesia, dengan jargon "Rebutan rumah gratis semudah 1-2-3".

Rabu, 09 Mei 2012

DAS, Banjir, dan Kekeringan (di Sumatera Utara)

[diterbitkan pada harian Waspada, kolom opini, Jumat, 4 Mei 2012]

Banjir dan kekeringan silih berganti menghampiri kita setiap tahun. Saat musim hujan, hampir selalu disertai dengan banjir atau malah banjir bandang. Seperti tahun lalu, dua banjir besar melanda Kota Medan, tepatnya pada tanggal 6 Januari dan 1 April 2011. Korban harta, nyawa, rusaknya infrastruktur, terganggunya aktivitas sosial dan kerugian ekonomi merupakan keniscayaan yang harus ditanggung karena bencana banjir itu.
Lalu, ketika kemarau tiba, air dari PDAM seret, macet dan mampet karena kesulitan air sumber bahan baku, jika pun ada, airnya sudah tercemar, sehingga perlu biaya lebih mahal dan waktu lebih lama untuk mengolahnya. Areal persawahanpun kering kerontang karena bendunganpun air menurun drastis akibat debit sungai yang jauh berkurang. Fenomena banjir atau banjir bandang dan kekeringan yang menerpa Kota Medan ini menunjukkan daerah aliran sungai (DAS) yang mencakup Kota Medan dalam kondisi rusak atau kritis.

Meluruskan pemahaman tentang DAS

Seorang prosesor di salah satu universitas ternama di Sumatera Utara dalam satu seminar bertanya: “apakah itu DAS?” Pada slide sang profesor terpampang gambar sungai. Melihat para peserta hening, lalu, sang profesor itu berkata “hampir seluruh mahasiswa pascasarjana di kelas saya yang diantaranya banyak juga para pejabat daerah yang sedang studi lanjut itu menjawab DAS itu adalah sungai, seperti terpampang dalam slide itu.” Jelas jawaban itu, salah kata sang profesor.
Seorang pejabat kementerian yang menceritakan pengalamannya disorot tajam oleh anggota DPR yang terhormat di suatu rapat “mengapa usulan rehabilitasi lahannya ini di DAS lagi? Bukankah tahun lalu sudah di DAS, apakah tidak ada lahan lagi, selain DAS?” Nah ini, contoh anggota DPR yang merasa benar, namun lupa memahami undang-undang (UU) yang dibuat DPR dan pemerintah. Jika ditanyakan balik “kalau bukan di DAS, lalu rehabilitasi lahan dimana lagi, bapak/ibu anggota dewan yang terhormat?” Nah, loh.
Pada media massa juga sering melakukan kesalahan serupa, seperti “jangan membangun permukiman di DAS, nanti kebanjiran.” Atau ada kalimat lain “waspada banjir di musim penghujan, terutama bagi penduduk yang bermukim di sepanjang DAS.” Kalau bukan di DAS, lalu mau mendirikan permukiman dimana lagi?
Jadi, banyak yang mengira DAS itu adalah sungai atau daerah bantaran sungai, seperti dalam beberapa dialog dan publikasi contoh di atas. Kesalahan pemahaman terkait DAS itu hampir merata di sebagian besar lapisan kelompok sosial. Akibatnya banyak waktu dan energi terbuang percuma. Demikian pula, kesalahan pemahaman ini juga berdampak pada kesalahan dalam merencanakan program solusi terhadap permasalahan sebenarnya yang melekat pada DAS yaitu: banjir dan kekeringan.
Lalu apa sesungguhnya DAS itu? Kunci pertama untuk memahami DAS dengan benar adalah bahwa seluruh wilayah daratan termasuk sungai di dalamnya terbagi habis dalam unit-unit DAS. Hal ini secara jelas tertulis dalam UU No 7/2004 Pasal 1 yang menyatakan DAS adalah suatu wilayah  daratan  yang merupakan satu kesatuan ekosistem dengan  sungai dan anak-anak sungainya  yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Jadi, DAS itu tidak sama dengan sungai, atau bukan hanya sungai saja atau bukan pula hanya daerah bantaran atau kiri kanan sungai. Sungai, anak sungai, dan bantaran sungai itu hanya bagian dari suatu DAS. Sehingga, satu unit DAS itu terdiri dari (1) satu sungai utama yang mengalirkan airnya langsung ke laut, serta (2) anak-anak sungai yang airnya mengalir ke sungai utama tadi, dan (3) daerah daratan yang apabila hujan, air permukaan dan butiran erosi tanah atau benda apa saja yang dibawanya akan mengalir ke anak-anak sungai atau langsung ke sungai utama tersebut, sehingga mempengaruhi kuantitas dan kualitas air sungai tersebut.
Setiap unit DAS diberi nama dengan nama sungai yang bermuara ke laut langsung. Misalnya DAS Deli, karena sungai Deli langsung bermuara ke laut. Bagaimana dengan daerah-daerah yang mengalirkan airnya ke sungai Babura? Daerah-daerah tersebut beserta sungai Baburanya merupakan bagian dari DAS Deli, yang diberi nama dengan Sub-DAS Babura. Atau dengan kata lain, sungai Babura itu merupakan anak dari sungai Deli. Mengapa? Karena air dari sungai Babura tidak bermuara langsung ke laut, namun bermuara ke sungai Deli.

Indikator kesehatan DAS

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa suatu DAS yang baik (dengan hutan yang masih baik dan dengan luasan kawasan berhutan yang cukup) akan mampu penampung dan penyimpan curah hujan menjadi air tanah. Hanya sekitar 0,1 – 10% saja dari curah hujan yang akan langsung mengalir ke sungai atau menjadi aliran permukaan (run off), sedangkan 90 – 99,9% dari curah hujan yang terjadi pada DAS yang baik akan diresapkan ke dalam tanah. Sehingga peluang terjadinya banjir pada DAS yang masih baik akan sangat-sangat kecil dibandingkan DAS yang rusak.
Demikian pula sebaliknya, bila DAS rusak maka kemampuannya dalam menampung dan menyimpan air hujan turun drastis. Ketika hujan terjadi, hampir seluruh air hujan akan langsung menjadi aliran permukaan, mengalir ke sungai dalam waktu bersamaan. Meluap, dan jadilah air bah! Ini bukan bencana alam, tapi adalah bencana ekologis!
Penutupan hutan memegang peranan penting dalam pengaturan sistem hirologi, terutama “efek spons” yang dapat menyekap air hujan dan mangatur pengalirannya sehingga mengurangi kecenderungan banjir dan menjaga aliran air di musim kemarau.  Fungsi tersebut akan hilang jika hutan di daerah DAS yang lebih tinggi hilang atau rusak. Di seluruh wilayah tropika, 90 % petani di dataran rendah tergantung pada kegiatan 10 % masyarakat yang tinggal di daerah hulu sungai.  Salah satu contoh penting di dunia adalah DAS Sungai Gangga, dimana 40 juta penduduk yang tinggal di pegunungan Himalaya mempengaruhi 500 juta penduduk di dataran rendah (MacKinnon et al,  1990).
Suatu DAS yang baik dengan tutupan vegetasi yang cukup dan bertingkat akan mencegah erosi tanah. Mengapa demikian? Erosi tanah secara alami terjadi bila tanahnya terbuka, sehingga ketika hujan, butiran-butiran air hujan akan memecahkan butiran tanah dan kemudian terbawa oleh aliran air hujan tersebut. Kehadiran hutan dan tutupan vegetasi lainnya yang tersusun secara bertingkat akan mengurangi energi kinetik butiran hujan sehingga butiran tanah tidak jadi pecah dan akhirnya erosi tanah tidak terjadi atau kecil sekali.
Pada DAS yang rusak, erosi tanah inilah yang menyebabkan sungai-sungai menjadi dangkal. Semakin terbuka lahannya dan tidak ada jalur hijau atau sabuk pengaman berupa tutupan vegetasi yang cukup di daerah bantaran sungai, maka erosi tanah akan langsung masuk sungai tanpa halangan dan pendangkalan sungai akan semakin cepat terjadi. Pada akhirnya, apabila ini terus berlangsung, hal ini akan menjadi salah satu faktor pemicu banjir pada musim penghujan, apalagi disertai konversi daerah resapan air menjadi daerah terbangun: permukiman, industri dan sejenisnya. Oleh karena itu, praktek pengelolaan lahan, sebagai akibat kebijakan pengelolaan lahan sangat berperan penting terjadi atau tidaknya pendangkalan sungai dan banjir.
Inilah salah satu alasan kenapa dalam UU No 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang mengamanatkan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) berupa kawasan hutan dalam rangka pelestarian lingkungan hidup (pasal 17 ayat 5). Namun ironinya di bagian utara Sumatera Utara, hanya 4 dari 20 unit DAS yang luas tutupan hutannya yang memenuhi syarat UU No 26 tahun 2007 itu. Ini adalah buah kebijakan pengelolaan lahan yang hanya mencari keuntungan ekonomi atau PAD semata tanpa mempertimbangkan faktor resiko. Misalnya, lahan basah dikasih izin untuk permukiman. Sehingga wajar, banjir dan kekeringan silih berganti datang setiap tahunnya.
Salah satu indikator utama DAS yang sehat adalah dari ketersediaan air, baik jumlah, distribusi (menurut waktu dan ruang) maupun kualitas airnya. Pada DAS yang sehat, air akan tersedia sepanjang tahun, demikian pula debit air sungai akan mengalir sepanjang tahun tanpa perbedaan yang mencolok antara musim penghujan dan kemarau. Dengan demikian, banjir tidak hadir pada musim penghujan, dan sebaliknya kekeringan tidak menerpa di masa kemarau. Kondisi ini juga menunjukan kinerja pengelolaan DAS berjalan secara baik.
Bagaimana di wilayah anda, pembaca?

Selasa, 08 Mei 2012

 

Kesepahaman terhadap Standar & Kelembagaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)


Pendahuluan

Terlepas dari pendapat banyak orang bahwa timbulnya verifikasi legalitas kayu adalah akibat dari “permintaan pasar”, tetapi dalam kenyataannya legalitas untuk kayu Indonesia bagi pasar Internasional memang sangat diperlukan dengan melihat banyaknya bukti-bukti di media massa terhadap penangkapan kayu-kayu yang tidak legal (illegal).
Tahun 2003 inisiasi untuk membangun standar legalitas kayu diawali dengan mengidentifikasi pengertian atau definisi terhadap kegiatan yang tidak legal pada pengusahaan/pembalakan hutan dari dalam hutan sampai dengan peredaran kayu untuk industri.
Sampai dengan tahun 2008, standar dan kelembagaan untuk sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) tersebut belum secara utuh memperoleh kesepahaman diantara para pihak pemegak kepentingan (multi-stakeholders) terutama bagi pihak-pihak yang kelak akan menggunakan sistem tersebut.
Kertas opini ini akan mencoba mengupas beberapa hal bagaimana sulitnya untuk memperoleh “kesepahaman” diantara para pemegang kepentingan terhadap sistem verifikasi tersebut.

Definisi legalitas

Mencari pengertian atas definisi yang tepat pada legalitas bukanlah hal yang mudah. Untuk menyikapi hal itu, pengertian pada kegiatan pembalakan hutan yang tidak legal (illegal logging) kemudian yang dicari definisinya.
Berangkat dari definisi illegal logging itu lah kemudian tantangan berikutnya terhadap definsi legalitas menjadi bertambah, diantaranya adalah apakah legalitas yang dicari adalah legalitas untuk kegiatan pengelolaan hutan (dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, plus peredaran produk kayu sampai dengan industri) atau terbatas saja pada kegiatan pemanfaatan hutan dalam hal ini hanya untuk produk kayunya saja?
Jika yang dimaksud adalah legalitas kegiatan pengelolaan hutan, maka standar tersebut akan mencakup dari legalitas kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan menyentuh legalitas peredaran kayu dari petak penebangan sampai dengan pengiriman ke industri. Namun sebaliknya, apabila legalitas yang dimaksud adalah legalitas untuk produk kayunya saja, maka standar akan mencakup legalitas kegiatan peredaran atau penatausahaan kayu dari petak penebangan sampai dengan pengiriman ke industri yang lebih populer dengan isitilah lacak balak kayu.
Nampaknya, dari pengembangan standar SVLK yang ada mengarah kepada kombinasi dari kedua unsur tersebut yaitu produk kayunya namun isi dari standar itu tersebut memverifikasi seluruh kegiatan pengelolaan hutan. Hal ini menimbulkan banyak pendapat dari berbagai pihak. Salah satu keberatan yang diajukan adalah bagaimana dengan keberadaan kewajiban sertifikasi (PHAPL) yang dimandatorikan oleh Departemen Kehutanan terhadap kinerja perusahaan kayu yaitu pada industri plywood, industri sawntimber, dan IUPHHK. Apakah kewajiban ini akan menjadi tumpang tindih atau menjadi pelengkap terhadap sistem verifikasi legalitas kayu? Jika tumpang tindih, maka akan menjadi tambahan biaya bagi para pihak pengusaha kayu/industri (apabila biaya verifikasi tersebut dibebankan kepada para pengusaha).
Berdasarkan dari peraturan perudangan yang ada dari Departemen Kehutanan, keabsahan suatu legalitas produk kayu dibuktikan dengan adanya surat keterangan sahnya hasil hutan (skshh) yang dokumen tersebut dapat berupa surat keterangan sahnya kayu bulat (SKSKB), faktur angkutan kayu bulat (FA-KB), dan faktur angkutan kayu olahan (FA-KO). Dokumen-dokumen tersebut menyertai dengan pengiriman produk kayunya sehingga apabila tanpa dokumen berarti kayu tersebut tidak legal. Kegiatan untuk legalitas untuk produk tersebut dilakukan secara rutin berdasarkan jumlah volume kayu yang beredar.
Apabila verifikasi yang diinginkan berdasarkan peraturan perundangan yang ada dan yang akan diverifikasi adalah legalitas produk kayunya, maka cakupan dari verifikasi tersebut adalah pada peredaran kayunya dari petak penebangan sampai dengan pintu industri. Ini sangat bermanfaat untuk membuktikan bahwa kegiatan legalitas rutin yang dilaksanakan oleh petugas sesuai dengan jumlah volume kayu yang beredar. Jika cakupan verifikasi melebar pada pengelolaan hutan, maka verifikasi tersebut menjadi berubah dan bukan lagi verifikasi legalitas kayu, tetapi verifikasi legalitas pengelolaan hutan. Inilah yang menyebabkan mengapa tawaran SVLK tersebut belum sepenuhnya diterima oleh berbagai pihak.
Mandatory versus Voluntary
Nuansa yang berkembang terhadap SVLK ini adalah bahwa sistem tersebut akan dibuat menjadi Mandatory atau dengan kata lain para penggusaha kayu ber “kewajiban” untuk menggunakan sistem ini. Dikarenakan “mandatory”, maka seyogyanya pembiayaan proses verifikasi dibebankan kepada pemerintah. Namun dengan keterbatasan dana yang tersedia oleh Pemerintah, maka besar kemungkinan pembiayaan terhadap proses verifikasi akan berangsur-angsur dibebankan kepada pihak pengusaha. Hal ini membuat keberatan dari pihak pengusaha kayu. Sewajarnya pihak pengusaha enggan untuk membiayai proses jasa ini karena kegiatan verifikasi terhadap keabsahan legalitas kayu masih menjadi domainnya pemerintah.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah apabila pihak pengusaha kayu yang harus membayar atas jasa terhadap proses verifikasi ini kepada Pemerintah, maka bayaran atas jasa tersebut kepada Pemerintah tidak akan langsung diterima oleh Departemen Kehutanan akan tetapi melalui prosedur sebagai mana pada mekanisme PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), yaitu melalui Departemen Keuangan. Dengan adanya birokrasi seperti demikian, alokasi dan jumlah yang diterima bisa berkurang maupun dapat digunakan untuk kepentingan lain sesuai dengan prioritas progam dari Departemen Kehutanan (hal yang bisa terjadi adalah anggaran yang dialokasikan bukan untuk pembiayaan sertifikasi).

Kekuatan Hukum terhadap Hasil dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)

Hasil dari proses verifikasi ini adalah suatu dokumen sertifikasi SVLK yang berarti bahwa legalitas produk kayu dari unit managemen bersangkutan telah diverifikasi pada periode tertentu (direncanakan selama 3 tahun).
Namun, dokumen sertifikasi tersebut tidak memiliki kekuatan hukum sebagai bukti legalitas produk kayunya. Apabila suatu unit manajemen yang telah memperoleh sertifikasi dari sistem verifikasi legalitas kayu kemudian pada suatu saat ternyata peredaran produk kayu bersangkutan tidak disertakan dokumen-dokumen kayu (skshh), maka produk kayu dari unit manajemen bersangkutan diindikasikan tidak legal (illegal). Dokumen sertifikasi tersebut dengan sendirinya tidak dapat digunakan oleh Unit Managemen bersangkutan untuk dipakai sebagai bukti legalitas bahan produknya. Dokumen sertifikasi tersebut hanya membuktikan bahwa pada periode tertentu keabsahan legalitas produk kayu dari unit managemen telah diverifikasi. Dokumen sertifikasi tersebut lebih berguna untuk kepentingan pasar, yaitu untuk meyakinkan kepada pihak pembeli bahwa legalitas kayu yang dijual telah dilakukan verifikasi. Apabila dalam proses peradilan ternyata unit managemen divonis bersalah, maka dengan serta merta dokumen sertifikasi SVLK pada unit managemen tersebut menjadi batal atau dibekukan oleh Departemen Kehutanan.
Namun karena sistem verifikasi ini bersifat mandatory dan akan berlaku secara nasional, maka untuk para pengusaha kayu yang belum mendapatkan sertifikasi ini dapat dikatakan bahwa keabsahan legalitas atas produk kayunya masih dipertanyakan (karena belum diverifikasi). Tidak berarti bahwa produk kayu tersebut adalah tidak legal, akan tetapi besar kemungkinan produk tersebut tidak akan mendapat respon positif oleh pasar (karena legalitas produknya belum diverifikasi). Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa pada produk kayu yang belum diverifikasi akan menjadi sasaran empuk bagi para penegak hukum yang belum mengerti penuh terhadap sistem ini. Para penegak tadi bisa berpikir bahwa jika produk belum diverifikasi keabsahan legalitasnya, maka produk tersebut adalah illegal. Padahal, tidak demikian.

Pengaturan Kelembagaan

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu memiliki beberapa lembaga dalam pengaturannya, diantaranya adalah Badan Pelaksana, Lembaga Akreditasi, Lembaga Verifikasi, Lembaga Penyelesaian Keberatan, dan Lembaga Pemantau. Tiap lembaga dan badan tersebut memiliki fungsi dan tugas masing-masing yang pada umumnya anggota dalam lembaga-lembaga tersebut terdiri dari unsur-unsur berbagai pihak. Mengapa harus multi pihak? Hal ini untuk menjamin bahwa proses dalam sistem ini adalah terbuka dan dapat diketahui oleh semua pihak terhadap kegiatan verifikasi pada produk kayu bersangkutan. Sehingga akan memberikan respon positif terhadap pasar baik nasional maupun internasional.
Namun, kesemua lembaga dan badan tersebut akan memperoleh mandat dari Departemen Kehutanan, terkecuali untuk Lembaga Pemantau yang hanya perlu didaftarkan di Departemen Kehutanan. Selama ini dalam organisasi Departemen Kehutanan yang menangani pengelolaan dan pengaturan produksi hasil hutan berada dalam naungan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Nampaknya SVLK ini akan berada pada Ditjen tersebut, namun masih menjadi pertanyaan apakah yang akan mengelola sistem ini berada di tingkat eselon 2 atau malah harus eselon 1. Jika melihat sistem sertifikasi PHAPL yang ada, sistem tersebut diurus oleh eselon 2. Mungkin untuk SVLK tidak demikian, mengingat sistem ini nantinya memerlukan kewenangan untuk mengkoordinir Direktorat-direktorat lainnya sehingga hal yang memungkinkan adalah Badan Pelaksana dari SVLK ini ditempatkan pada eselon 1 dan akan menjadi bagian dari tupoksi-nya Direktur Jenderal. Apabila sistem SVLK ditempatkan pada eselon 2, maka dikhawatirkan kewenangan untuk koordinasi tingkat eselon 2 dalam rangka verifikasi terhadap beberapa komponen standar dalam SVLK menjadi terbatas. Koordinasi ini sebaiknya langsung dilakukan oleh eselon 1 dan bukan dari eselon 2. Apakah seorang Direktur Jenderal boleh merangkap sebagai Ketua Badan Pelaksana mengingat dalam Badan Pelaksana itu akan ada komisi-komisi, yaitu Komisi Lisensi dan Pengembangan Standar dan Komisi Akreditasi? Berdasarkan dari peraturan perundangan yang ada, hal tersebut masih memungkinan (PerPres No.10/2005 Pasal 26 Ayat 4) karena tugas dari Ditjen Bina Produksi Kehutanan adalah merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan produksi kehutanan. Dengan kata lain, SVLK akan menjadi standarisasi teknis dan akan menjadi tepat apabila pengaturan dan pengelolaan SVLK dibawah eselon 1 pada Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.

Anggota dari Badan Pelaksana (BP) merupakan perwakilan dari unsur-unsur Pemerintah, Akademisi, LSM, Bisnis, dan Masyarakat. Hal ini juga berlaku untuk Lembaga Penyelesaian Keberatan (LPK) yang juga merupakan perwakilan dari unsur-unsur Pemerintah, Akademisi, LSM, Bisnis, dan Masyarakat. Lembaga Pemantau (LP) yang terdiri dari lembaga-lembaga yang telah memiliki badan hukum Indonesia hanya cukup mendaftar sebagai LP untuk SVLK di BP. Untuk Lembaga Akreditasi, Menteri Kehutanan mempunyai hak prerogratif dalam memilih lembaga Akreditasi ini. Pada saat ini Lembaga Akreditasi yang ada untuk Pengelolaan Hutan di Indoesia adalah Lembaga Ekolable Indonesia (LEI). Selain LEI, lembaga lain yang berhubungan dengan Akreditasi Produk Kayu adalah Komisi Akreditas Nasional (KDN), Namun, siapa yang kelak menjadi Lembaga Akreditasi ini akan menjadi wewenang pilihan dari pak Menteri.

Kapan SVLK resmi dilaksanakan?

Setelah 5 tahun dalam penyusunan SVLK ini tampaknya wajar kalau pertanyaan tersebut diutarakan. Namun, proses penyempurnaan Standar dan Kelembagaan SVLK masih terus berjalan. Lambatnya proses dan tidak adanya kepastian terhadap bentuk resmi standar dan kelembagaan SVLK dari Pemerintah bisa membuat harapan pasar untuk kayu Indonesia akan menjadi semakin lemah. Apabila dikaitkan dengan agenda negara ini dalam satu tahun mendatang yaitu Pesta Demokrasi Nasional (Pemilu) dan kemudian peralihan kepemimpinan nasional, maka nampaknya akan menjadi pesimis bahwa SVLK secara resmi diluncurkan pada kurun waktu tersebut.
Mungkin sebenarnya pasar bukan menginginkan SVLK, tetapi yang diinginkan adalah keterbukaan dalam pengaturan dalam tata usaha kayu sehingga semua produk kayu yang masuk ke pasar bisa diketahui oleh publik terhadap keabsahan legalitasnya termasuk mengetahui dari petak pohon mana produk tersebut ditebang, kawasan hutan atau bukan, pemiliknya siapa, bagaimana yang mengelola hutannya, dan sebagainya. Apapun bentuk sistem dan kelembagaan yang ingin digunakan yang penting bisa menjelaskan proses kesemua (transparansi) itu pada pasar, maka respon positif terhadap harga produk bersangkutan akan meningkat.
(diposkan oleh StepiH dalam www.fahutanipb.com)

 


1388 warga Baduy “Seba” di Kantor Gubernur Banten


Serang, Banten (ANTARA News) - Sebanyak 1.388 warga Baduy Dalam dan Baduy Luar dari sekitar 60 kampung di tiga desa, melangsungkan ritual tahunan Seba Baduy di Kantor Gubernur Banten, di Serang, Sabtu malam.
Secara simbolis ritual adat tahunan tersebut ditandai dengan ungkapan seba dalam bentuk sejumlah pernyataan atau permohonan kepada Gubernur Banten, Ratu Atut Choisiyah, yang mereka sebut sebagai Ibu Gede.
Dalam ungkapan atau permohonan tersebut, mereka meminta pemerintah untuk bisa menjaga alam, air dan kelestarian hutan serta menegakan hukum demi ketentraman dan keselamatan masyarakat.
Kata-kata permohonan dalam ritual seba tersebut disampaikan tokoh adat Baduy yang mewakili 12 tokoh adat masyarakat Baduy (jaro tangtu 12) yakni Jaro Saidi, dengan menggunakan bahasa Sunda khas masyarakat adat Baduy.
Setelah menyampaikan permohonan tersebut, secara simbolis mereka juga menyerahkan sejumlah barang bawaan berupa hasil bumi atau hasil pertanian.
Setelah acara seba yang dimulai sekitar pukul 21.00 WIB tersebut selesai, masyarakat Baduy disuguhi hiburan wayang golek dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banten, hingga keseokan harinya menjelang mereka pulang ke kampung halamannya di Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak.
Selain Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, hadir dalam kesempatan tersebut Wakil Gubenur Banten, Rano Karno, seluruh kepala SKPD di lingkungan Provinsi Banten dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah di Provinsi Banten.
Ketua adat Baduy Dalam, Mursyid, mengatakan, kegiatan ritual tahunan warga Baduy tersebut dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur dan menjalin silaturahmi kepada pemerintah Provinsi Banten, setelah warga suku pedalaman di Banten Selatan tersebut melaksanakan panen hasil pertanian.
"Intinya kami menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada pemerintah. Kami juga berpesan agar pemerintah bisa melindungi kami dan hutan yang ada di daerah kami," kata Mursyid atau biasa dipanggil Ayah Mursyid.
Sebelum melaksanakan seba di pemerintahan Provinsi Banten, warga Baduy Luar dan Baduy Dalam, juga melaksanakan kegiatan serupa di kantor bupati Lebak pada Jumat malam.
Bagi warga Baduy Dalam dengan pakaian serba putih, untuk mengikuti kegiatan tersebut harus menempuh perjalanan selama dua hari berjalan kaki dari perkampungannya di Cibeo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak.
Sedangkan bagi warga suku Baduy Luar dengan pakaian khas serba hitam. Mereka biasanya berangkat dari kampungnya dengan menumpang kendaraan dari Terminal Ciboleger menuju kantor Bupati Lebak dan dilanjutkan ke Pendopo Gubernur Banten.
Kepala Desa Kanekes yang juga tokoh Baduy Luar, Daenah, mengatakan, jumlah warga Baduy Luar dan Baduy Dalam yang mengikuti seba tahun ini sebanyak 1.388 orang dari sekitar 60 dusun di tiga desa, jumlah tersebut termasuk sedikit karena acara seba tahun ini termasuk dalam seba kecil.

Panen Raya Padi GP3K di Cikeusik


KAB.PANDEGLANG – Seluas 150ha sawah yang berlokasi di petak 49E melakukan panen raya padi Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) Perum Perhutani tingkat Provinsi Banten, di Kawasan Hutan Produksi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, Cikeusik, Kab. Pandeglang, Rabu (4/4).
Padi ini ditanam sejak bulan November tahun lalu. Perum Perhutani menyediakan kawasan hutan seluas 3.313,04ha yang tersebar di Kab. Pandeglang seluas 2.053,59ha tersebar di 6 kecamatan dan Kab. Lebak seluas 1.259,45ha tersebar di 7 kecamatan untuk ditanami padi dan jagung dengan 2 varietas, pada lahan basah ditanam varietas Ciherang dan pada lahan kering varietas Situ Bagendit.
Untuk mendukung program GP3K dan penggunaan 2 varietas yang diunggulkan di tempat tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten bekerja sama dengan Direktur Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) Pengembangan Usaha Hutan Rakyat (PUHR) Perum Perhutani menangani panen raya padi tersebut.
Panen raya yang dihadiri Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten-H.Muhadi dan Direktur Utama PSDH dan PUHR Perum Perhutani-Mustoha Iskandar tersebut sengaja dilakukan pihak Pemerintah dan PSDH untuk memotivasi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan agar bisa lebih menjaga dan memaksimalkan potensi yang ada di hutan dan sekitarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Mustoha Iskandar menghimbau kepada seluruh jajaran Perhutani yang ada di Banten agar bisa membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
“Saya meminta kepada seluruh jajaran Perhutani di Banten untuk membantu seluruh masyarakat yang berada di sekitar hutan agar tidak kelaparan” pinta Mustoha.
Sementara itu, Sekda mengajak kepada seluruh masyarakat setempat khususnya mereka yang tinggal di sekitar hutan untuk dapat terus menjaga sumber daya alam yang ada di hutan, mengingat banyaknya dampak positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat dari kelestarian hutan. Sekda juga mengucapkan terima kasih kepada pihak terkait sehingga bisa terlaksananya panen raya ini.
“Saya ucapkan terima kasih kepada Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang telah mengupayakan lahan sehingga bisa dilaksanakannya panen raya ini” tutur Sekda.
Dalam acara tersebut Pemprov Banten juga memberikan bantuan kepada kelompok tani setempat, berupa bantuan benih padi CBN untuk kegiatan SL-PTT tahun 2012 dan pestisida jenis tiram sebanyak 16 paket.
Mewakili Pemerintah Provinsi Banten, Sekda juga mengucapkan selamat atas dilaksanakannya panen raya Perhutani di Desa Cikeusuik, Kab.Pandeglang yang diharapkan panen raya ini menjadi titik awal yang lebih baik bagi proses pelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
(humas prov. Banten)

Banten Akan Bangun Museum Krakatau


Serang - Pemerintah Provinsi Banten akan membangun Museum Krakatau di kawasan Mercusuar Anyer, Kampung Anyer Kidul, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang. Museum tersebut akan menghadirkan bukti sejarah meletusnya Gunung Krakatau pada 1883.
“Kami targetkan pada Agustus 2013, Museum Krakatau sudah ada,” kata Wakil Gubernur Banten Rano Karno, pada Selasa, 27 Maret 2012.
Menurut dia, Pemerintah Provinsi Banten ingin menunjukkan keindahan dari Gunung Krakatau yang sarat nilai sejarah sejak meletus pada 1883. Apalagi, pada 2013 mendatang, bertepatan dengan 130 tahun meletusnya gunung api yang berada di perairan Selat Sunda ini.
Menurut Rano, rencananya, Museum Krakatau akan dibangun di kawasan Mercusuar Anyer karena di sana terdapat bangunan bersejarah berupa mercusuar. Lokasi mercusuar ini juga merupakan titik 0 kilometer pembangunan jalan Anyer-Panarukan sepanjang kurang lebih 1.000 kilometer, yang dibuat pemerintah Belanda di bawah Gubernur Jenderal Daendels. Jalan Anyer-Panarukan ini juga dikerjakan dalam waktu satu tahun dengan mengorbankan ribuan rakyat Banten yang dijadikan pekerja rodi.
“Kami sudah layangkan surat kepada Kementerian Perhubungan karena tanahnya yang ada di situ saat ini dimanfaatkan oleh Kementerian Perhubungan. Mudah-mudahan tidak dipersulit,” kata Rano.
Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Banten Edi Mahfudin sangat mendukung rencana itu karena Museum Banten maupun Museum Krakatau nanti akan menjadi ikon Banten, sehingga akan menimbulkan efek berganda yang luar biasa bagi masyarakat Banten. “Gagasan ini merupakan gagasan brilian. Jadi tidak ada alasan Komisi II tidak mendukungnya,” katanya.(ratuatut.com)

Minggu, 06 Mei 2012


Neraka dari “Manajemen Musyrik”
Manufacturing Hope 2

 


Manufacturing hope tentu juga harus dilakukan untuk bandara-bandara kita. Selain mencarikan jalan keluar untuk hotel-hotel yang ada di Bali, selama mengikuti KTT ASEAN saya berkunjung ke pelabuhan perikanan Benoa, melihat aset-aset BUMN yang tidak produktif di Bali dan diajak melihat proyek Bandara Ngurah Rai yang baru.
Tanpa dilakukan survei pun semua orang sudah tahu betapa tidak memuaskannya Bandara Internasional Ngurah Rai itu. Semua orang ngomel, mencela, dan mencaci maki sesaknya, ruwetnya, dan buruknya. Bandara itu memang tidak mampu menanggung beban yang sudah empat kali lebih besar daripada kapasitasnya.
Memang, PT Angkasapura I, BUMN yang mengelola bandara tersebut, sudah mulai membangun terminal yang baru. Tapi, terminal baru itu baru akan selesai paling cepat dua tahun lagi.
Berarti selama dua tahun ke depan keluhan dari publik masih akan sangat nyaring. Bahkan, keluhan itu akan bertambah-tambah karena di lokasi yang sama bakal banyak kesibukan proyek. Bongkar sana, bongkar sini. Pindah sana, pindah sini. Membangun terminal baru di lokasi terminal yang masih dipakai tentu sangat repot. Lebih enak membangun terminal baru di lokasi yang baru sama sekali.
Menghadapi persoalan yang begitu stres, hanya hope-lah yang bisa di-manufacture! Karena itu, memajang maket bandara baru tersebut besar-besar di ruang tunggu atau di tempat-tempat strategis lainnya menjadi penting. Saya berharap, penumpang yang ngomel-ngomel itu bisa melihat gambar bandara baru yang lebih lapang dan lebih indah. Perhatian penumpang harus dicuri agar tidak lagi selalu merasakan sumpeknya keadaan sekarang, melainkan diajak merasakan mimpi masa depan baru yang segera datang itu.
Demikian juga, PT Angkasapura II yang mengelola Bandara Soekarno-Hatta harus membantu manufacturing hope itu. Caranya, ikut membantu memasangkan maket bandara baru Ngurah Rai di lokasi Bandara Soekarno-Hatta. Bahkan, maket baru Bandara Soekarno-Hatta sendiri juga harus lebih banyak ditampilkan secara atraktif.
Tentu, sambil menunggu yang baru itu, bandara yang ada harus tetap diperhatikan. Mungkin memang tidak perlu membuang uang terlalu banyak untuk sesuatu yang dalam dua tahun ke depan akan dibongkar. Tapi, tanpa membuat bandara yang ada ini lebih baik, orang pun akan kehilangan harapan bahwa bandara yang baru itu kelak bakal mengalami nasib tak terurus yang sama. Itulah sebabnya, khusus Bandara Soekarno-Hatta, manajemen Angkasapura II akan melakukan survei persepsi publik yang bakal dilakukan oleh lembaga survei yang kredibel dan independen.
***
Manufacturing hope kelihatannya juga harus lebih banyak diproduksi untuk industri rekayasa. PT Dirgantara Indonesia (pembuatan pesawat), PT PAL Surabaya (pembuatan kapal), PT Bharata Surabaya (mesin-mesin), PT Boma Bisma Indra Surabaya-Pasuruan (mesin-mesin), PT INKA (pembuatan kereta api), dan banyak lagi industri jenis itu sangat memerlukannya.
Semua BUMN di bidang ini sulitnya bukan main. Kesulitan yang sudah berlangsung begitu lama. Di barisan ini termasuk Dok Perkapalan IKI Makassar, Dok Perkapalan Koja Bahari Jakarta, dan industri sejenis?yang menjadi anak perusahaan BUMN seperti jasa produksi milik PLN dan perbengkelan di lingkungan BUMN lainnya. Beberapa di antaranya bahkan sangat-sangat parah. PT PAL, misalnya, sudah terlalu lama merah dalam skala kerugian yang triliunan rupiah.
PT IKI Makassar idem ditto. Sudah dua tahun perusahaan galangan kapal terbesar di Indonesia Timur itu tidak mampu membayar gaji karyawan. Perusahaan tersebut terjerumus ketika menerima order pembuatan kapal penangkap ikan modern sebanyak 40 unit, tapi dibatalkan pemerintah di tengah jalan. Kini 14 kapal ikan yang sudah telanjur jadi itu mengapung mubazir begitu saja. Sudah lebih dari sepuluh tahun kapal-kapal modern itu berjajar menganggur.
Bahan-bahan kapal yang belum jadi pun sudah menjadi besi tua dan berserakan memenuhi kawasan galangan kapal itu. Peralatan produksinya juga sudah menganggur bertahun-tahun. Salah satu di antaranya bisa membuat ngiler siapa pun: crane 150 ton! Dok Perkapalan Surabaya yang ordernya begitu banyak dan sibuk saja hanya punya crane terbesar 50 ton!
Dulu, sekitar 15 tahun yang lalu, saya pernah mengkritik pemerintah di bidang itu. Saya menulis di media mengapa nasib industri rekayasa kita begitu jelek.Mengapa kita impor permesinan bertriliun-triliun setiap tahun, tapi industri rekayasa di dalam negeri telantar berat. Bahkan, tokoh sekaliber B.J. Habibie pun tidak berhasil mengatasinya.
Waktu itu saya sudah membayangkan alangkah hebatnya Indonesia kalau semua potensi tersebut disatukan dalam koordinasi yang utuh. Kalau saja ada kesatuan di dalamnya, kita bisa memproduksi pabrik apa pun, alat apa pun, dan kendaraan apa pun. Pembangkit listrik, pabrik gula, pabrik kelapa sawit, pesawat, kapal, kereta, motor, mobil, dan apalagi sepeda, semua bisa dibuat di dalam negeri.
Sebagai orang yang kala itu sering mengunjungi pabrik-pabrik sejenis di Tiongkok, saya selalu mengeluh: alangkah lebih modernnya peralatan yang dimiliki pabrik-pabrik kita jika dibandingkan dengan pabrik-pabrik yang saya kunjungi itu. Peralatan yang dimiliki PT Bharata, misalnya, jauh lebih modern daripada yang saya lihat di Tiongkok saat itu. Ahli pesawat dari Eropa mengagumi modernya peralatan di PT Dirgantara Indonesia.
Kini, dalam posisi saya yang baru ini, saya tidak bisa lagi hanya mengkritik. Tanggung jawab itu kini ditumpukkan di pundak saya. Saya tidak boleh lupa bahwa saya pernah mengkritik pemerintah. Saya tidak boleh mencari kambing hitam untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab. Tentu saya juga menyadari bahwa saya bukanlah seorang yang genius seperti Pak Habibie. Saya hanya mengandalkan hasil dari manufacturing hope.
Tidak mudah perusahaan yang sudah mengalami kemerosotan yang panjang bisa bangkit kembali. Karena itu, saya harus menghargai dan memuji upaya yang dilakukan manajemen PT Dirgantara Indonesia (DI) belakangan ini. Rasanya, untuk bidang ini, DI akan bangkit yang pertama. Thanks to kesungguhan Presiden SBY yang telah menginstruksikan pengadaan seluruh keperluan militer dilakukan di dalam negeri. Kecuali peralatan sekelas tank Leopard, helikopter Apache, atau kapal selam yang memang belum bisa dibuat sendiri. Pesawat tempur sekelas F-16 Block 52 pun, tekad Presiden SBY tegas: harus diproduksi di dalam negeri meski harus bekerja sama dengan pihak luar.Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro juga sangat serius dalam mengontrol pelaksanaan instruksi presiden itu.
Maka, PT DI kelihatannya segera mentas. Kegiatan jangka pendek, menengah, dan panjangnya sudah tertata. Dalam waktu pendek ini, sampai dua tahun ke depan, pekerjaannya sudah sangat banyak: membuat pesawat militer CN-295 dalam jumlah yang besar. Order ini akan berkelanjutan menjadi program jangka menengah karena PT DI juga sekaligus diberi hak keagenan untuk Asia Pasifik. Sedangkan jangka panjangnya, PT DI memproduksi pesawat tempur setara Block 52 bekerja sama dengan Korea Selatan.
Adanya kebijakan yang tegas dari Presiden SBY, komitmen pembinaan yang kuat dari Kementerian Pertahanan, kapabilitas personel PT DI yang unggul (terbukti satu bagian dari sayap pesawat Airbus 380 yang gagah dan menarik itu ternyata selalu diproduksi di PT DI), dan fokus manajemen dalam melayani keperluan Kementerian Pertahanan adalah kunci awal bangkitnya industri pesawat PT DI.
Instruksi Presiden SBY itu juga berlaku untuk PT Pindad. Maka, kebangkitan serupa juga akan terjadi untuk PT Pindad. Semoga juga di PT Dahana. Karean itu, tidak ada jalan lain bagi PT PAL untuk tidak mengikuti jejak PT DI. Kalau saja PT PAL fokus melayani keperluan pembuatan dan perawatan kapal-kapal militer nasibnya akan lebih baik.
Apalagi, anggaran untuk peralatan militer kini semakin besar. Menyerap semaksimal mungkin anggaran militer itu saja sudah akan bisa menghidupi. Dengan syarat, pelayanan kepada keperluan militer itu sangat memuaskan: mutunya dan waktu penyelesaiannya.
Lupakan dulu menggarap kapal niaga yang ternyata merugikan PT PAL begitu besar. Lupakan menggarap bisnis-bisnis lain, apalagi sampai menjadi kontraktor EPC seperti yang dilakukan selama ini. Semua itu hanya mengganggu kefokusan manajemen dan merusak suasana kebatinan jajaran PT PAL sendiri. Memang ada alasan ilmiah untuk mengerjakan banyak hal itu.
Misalnya untuk memanfaatkan idle capacity. Tapi, godaan memanfaatkan idle capacity itu bisa membuat orang tidak fokus. Dalam bahasa agama, “tidak fokus” berarti “tidak mengesakan”. “Tidak mengesakan” berarti “tidak bertauhid”. “Tidak bertauhid” berarti “musyrik”. Memanfaatkan idle capacity di satu pihak sangat ilmiah, di pihak lain bisa juga berarti godaan terhadap fokus. Saya sering mengistilahkannya “godaan untuk berbuat musyrik”. Padahal, orang musyrik itu masuk neraka. Nerakanya perusahaan adalah negative  cash flow, rugi, dan akhirnya bangkrut.
Kalaupun PT PAL kelak sudah fokus menekuni keperluan militer, tapi masih juga rugi, negara tidak akan terlalu menyesal. Tapi, kerugian PT PAL karena menggarap kapal niaga asing sangatlah menyakitkan. Apalagi, kerugian itu menjadi beban negara. Rugi untuk memperkuat militer kita masih bisa dianggap sebagai pengabdian kepada negara. Tapi, rugi karena menggarap kapal niaga asing dan kemudian minta uang kepada negara sama sekali tidak bisa dimengerti.
Hanya kepada orang-orang yang bisa fokuslah saya banyak berharap. Hanya di tangan pimpinan-pimpinan yang fokuslah BUMN bisa bangkit. (*)