Selasa, 08 Mei 2012

 

Kesepahaman terhadap Standar & Kelembagaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)


Pendahuluan

Terlepas dari pendapat banyak orang bahwa timbulnya verifikasi legalitas kayu adalah akibat dari “permintaan pasar”, tetapi dalam kenyataannya legalitas untuk kayu Indonesia bagi pasar Internasional memang sangat diperlukan dengan melihat banyaknya bukti-bukti di media massa terhadap penangkapan kayu-kayu yang tidak legal (illegal).
Tahun 2003 inisiasi untuk membangun standar legalitas kayu diawali dengan mengidentifikasi pengertian atau definisi terhadap kegiatan yang tidak legal pada pengusahaan/pembalakan hutan dari dalam hutan sampai dengan peredaran kayu untuk industri.
Sampai dengan tahun 2008, standar dan kelembagaan untuk sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) tersebut belum secara utuh memperoleh kesepahaman diantara para pihak pemegak kepentingan (multi-stakeholders) terutama bagi pihak-pihak yang kelak akan menggunakan sistem tersebut.
Kertas opini ini akan mencoba mengupas beberapa hal bagaimana sulitnya untuk memperoleh “kesepahaman” diantara para pemegang kepentingan terhadap sistem verifikasi tersebut.

Definisi legalitas

Mencari pengertian atas definisi yang tepat pada legalitas bukanlah hal yang mudah. Untuk menyikapi hal itu, pengertian pada kegiatan pembalakan hutan yang tidak legal (illegal logging) kemudian yang dicari definisinya.
Berangkat dari definisi illegal logging itu lah kemudian tantangan berikutnya terhadap definsi legalitas menjadi bertambah, diantaranya adalah apakah legalitas yang dicari adalah legalitas untuk kegiatan pengelolaan hutan (dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, plus peredaran produk kayu sampai dengan industri) atau terbatas saja pada kegiatan pemanfaatan hutan dalam hal ini hanya untuk produk kayunya saja?
Jika yang dimaksud adalah legalitas kegiatan pengelolaan hutan, maka standar tersebut akan mencakup dari legalitas kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan menyentuh legalitas peredaran kayu dari petak penebangan sampai dengan pengiriman ke industri. Namun sebaliknya, apabila legalitas yang dimaksud adalah legalitas untuk produk kayunya saja, maka standar akan mencakup legalitas kegiatan peredaran atau penatausahaan kayu dari petak penebangan sampai dengan pengiriman ke industri yang lebih populer dengan isitilah lacak balak kayu.
Nampaknya, dari pengembangan standar SVLK yang ada mengarah kepada kombinasi dari kedua unsur tersebut yaitu produk kayunya namun isi dari standar itu tersebut memverifikasi seluruh kegiatan pengelolaan hutan. Hal ini menimbulkan banyak pendapat dari berbagai pihak. Salah satu keberatan yang diajukan adalah bagaimana dengan keberadaan kewajiban sertifikasi (PHAPL) yang dimandatorikan oleh Departemen Kehutanan terhadap kinerja perusahaan kayu yaitu pada industri plywood, industri sawntimber, dan IUPHHK. Apakah kewajiban ini akan menjadi tumpang tindih atau menjadi pelengkap terhadap sistem verifikasi legalitas kayu? Jika tumpang tindih, maka akan menjadi tambahan biaya bagi para pihak pengusaha kayu/industri (apabila biaya verifikasi tersebut dibebankan kepada para pengusaha).
Berdasarkan dari peraturan perudangan yang ada dari Departemen Kehutanan, keabsahan suatu legalitas produk kayu dibuktikan dengan adanya surat keterangan sahnya hasil hutan (skshh) yang dokumen tersebut dapat berupa surat keterangan sahnya kayu bulat (SKSKB), faktur angkutan kayu bulat (FA-KB), dan faktur angkutan kayu olahan (FA-KO). Dokumen-dokumen tersebut menyertai dengan pengiriman produk kayunya sehingga apabila tanpa dokumen berarti kayu tersebut tidak legal. Kegiatan untuk legalitas untuk produk tersebut dilakukan secara rutin berdasarkan jumlah volume kayu yang beredar.
Apabila verifikasi yang diinginkan berdasarkan peraturan perundangan yang ada dan yang akan diverifikasi adalah legalitas produk kayunya, maka cakupan dari verifikasi tersebut adalah pada peredaran kayunya dari petak penebangan sampai dengan pintu industri. Ini sangat bermanfaat untuk membuktikan bahwa kegiatan legalitas rutin yang dilaksanakan oleh petugas sesuai dengan jumlah volume kayu yang beredar. Jika cakupan verifikasi melebar pada pengelolaan hutan, maka verifikasi tersebut menjadi berubah dan bukan lagi verifikasi legalitas kayu, tetapi verifikasi legalitas pengelolaan hutan. Inilah yang menyebabkan mengapa tawaran SVLK tersebut belum sepenuhnya diterima oleh berbagai pihak.
Mandatory versus Voluntary
Nuansa yang berkembang terhadap SVLK ini adalah bahwa sistem tersebut akan dibuat menjadi Mandatory atau dengan kata lain para penggusaha kayu ber “kewajiban” untuk menggunakan sistem ini. Dikarenakan “mandatory”, maka seyogyanya pembiayaan proses verifikasi dibebankan kepada pemerintah. Namun dengan keterbatasan dana yang tersedia oleh Pemerintah, maka besar kemungkinan pembiayaan terhadap proses verifikasi akan berangsur-angsur dibebankan kepada pihak pengusaha. Hal ini membuat keberatan dari pihak pengusaha kayu. Sewajarnya pihak pengusaha enggan untuk membiayai proses jasa ini karena kegiatan verifikasi terhadap keabsahan legalitas kayu masih menjadi domainnya pemerintah.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah apabila pihak pengusaha kayu yang harus membayar atas jasa terhadap proses verifikasi ini kepada Pemerintah, maka bayaran atas jasa tersebut kepada Pemerintah tidak akan langsung diterima oleh Departemen Kehutanan akan tetapi melalui prosedur sebagai mana pada mekanisme PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), yaitu melalui Departemen Keuangan. Dengan adanya birokrasi seperti demikian, alokasi dan jumlah yang diterima bisa berkurang maupun dapat digunakan untuk kepentingan lain sesuai dengan prioritas progam dari Departemen Kehutanan (hal yang bisa terjadi adalah anggaran yang dialokasikan bukan untuk pembiayaan sertifikasi).

Kekuatan Hukum terhadap Hasil dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)

Hasil dari proses verifikasi ini adalah suatu dokumen sertifikasi SVLK yang berarti bahwa legalitas produk kayu dari unit managemen bersangkutan telah diverifikasi pada periode tertentu (direncanakan selama 3 tahun).
Namun, dokumen sertifikasi tersebut tidak memiliki kekuatan hukum sebagai bukti legalitas produk kayunya. Apabila suatu unit manajemen yang telah memperoleh sertifikasi dari sistem verifikasi legalitas kayu kemudian pada suatu saat ternyata peredaran produk kayu bersangkutan tidak disertakan dokumen-dokumen kayu (skshh), maka produk kayu dari unit manajemen bersangkutan diindikasikan tidak legal (illegal). Dokumen sertifikasi tersebut dengan sendirinya tidak dapat digunakan oleh Unit Managemen bersangkutan untuk dipakai sebagai bukti legalitas bahan produknya. Dokumen sertifikasi tersebut hanya membuktikan bahwa pada periode tertentu keabsahan legalitas produk kayu dari unit managemen telah diverifikasi. Dokumen sertifikasi tersebut lebih berguna untuk kepentingan pasar, yaitu untuk meyakinkan kepada pihak pembeli bahwa legalitas kayu yang dijual telah dilakukan verifikasi. Apabila dalam proses peradilan ternyata unit managemen divonis bersalah, maka dengan serta merta dokumen sertifikasi SVLK pada unit managemen tersebut menjadi batal atau dibekukan oleh Departemen Kehutanan.
Namun karena sistem verifikasi ini bersifat mandatory dan akan berlaku secara nasional, maka untuk para pengusaha kayu yang belum mendapatkan sertifikasi ini dapat dikatakan bahwa keabsahan legalitas atas produk kayunya masih dipertanyakan (karena belum diverifikasi). Tidak berarti bahwa produk kayu tersebut adalah tidak legal, akan tetapi besar kemungkinan produk tersebut tidak akan mendapat respon positif oleh pasar (karena legalitas produknya belum diverifikasi). Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa pada produk kayu yang belum diverifikasi akan menjadi sasaran empuk bagi para penegak hukum yang belum mengerti penuh terhadap sistem ini. Para penegak tadi bisa berpikir bahwa jika produk belum diverifikasi keabsahan legalitasnya, maka produk tersebut adalah illegal. Padahal, tidak demikian.

Pengaturan Kelembagaan

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu memiliki beberapa lembaga dalam pengaturannya, diantaranya adalah Badan Pelaksana, Lembaga Akreditasi, Lembaga Verifikasi, Lembaga Penyelesaian Keberatan, dan Lembaga Pemantau. Tiap lembaga dan badan tersebut memiliki fungsi dan tugas masing-masing yang pada umumnya anggota dalam lembaga-lembaga tersebut terdiri dari unsur-unsur berbagai pihak. Mengapa harus multi pihak? Hal ini untuk menjamin bahwa proses dalam sistem ini adalah terbuka dan dapat diketahui oleh semua pihak terhadap kegiatan verifikasi pada produk kayu bersangkutan. Sehingga akan memberikan respon positif terhadap pasar baik nasional maupun internasional.
Namun, kesemua lembaga dan badan tersebut akan memperoleh mandat dari Departemen Kehutanan, terkecuali untuk Lembaga Pemantau yang hanya perlu didaftarkan di Departemen Kehutanan. Selama ini dalam organisasi Departemen Kehutanan yang menangani pengelolaan dan pengaturan produksi hasil hutan berada dalam naungan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Nampaknya SVLK ini akan berada pada Ditjen tersebut, namun masih menjadi pertanyaan apakah yang akan mengelola sistem ini berada di tingkat eselon 2 atau malah harus eselon 1. Jika melihat sistem sertifikasi PHAPL yang ada, sistem tersebut diurus oleh eselon 2. Mungkin untuk SVLK tidak demikian, mengingat sistem ini nantinya memerlukan kewenangan untuk mengkoordinir Direktorat-direktorat lainnya sehingga hal yang memungkinkan adalah Badan Pelaksana dari SVLK ini ditempatkan pada eselon 1 dan akan menjadi bagian dari tupoksi-nya Direktur Jenderal. Apabila sistem SVLK ditempatkan pada eselon 2, maka dikhawatirkan kewenangan untuk koordinasi tingkat eselon 2 dalam rangka verifikasi terhadap beberapa komponen standar dalam SVLK menjadi terbatas. Koordinasi ini sebaiknya langsung dilakukan oleh eselon 1 dan bukan dari eselon 2. Apakah seorang Direktur Jenderal boleh merangkap sebagai Ketua Badan Pelaksana mengingat dalam Badan Pelaksana itu akan ada komisi-komisi, yaitu Komisi Lisensi dan Pengembangan Standar dan Komisi Akreditasi? Berdasarkan dari peraturan perundangan yang ada, hal tersebut masih memungkinan (PerPres No.10/2005 Pasal 26 Ayat 4) karena tugas dari Ditjen Bina Produksi Kehutanan adalah merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan produksi kehutanan. Dengan kata lain, SVLK akan menjadi standarisasi teknis dan akan menjadi tepat apabila pengaturan dan pengelolaan SVLK dibawah eselon 1 pada Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.

Anggota dari Badan Pelaksana (BP) merupakan perwakilan dari unsur-unsur Pemerintah, Akademisi, LSM, Bisnis, dan Masyarakat. Hal ini juga berlaku untuk Lembaga Penyelesaian Keberatan (LPK) yang juga merupakan perwakilan dari unsur-unsur Pemerintah, Akademisi, LSM, Bisnis, dan Masyarakat. Lembaga Pemantau (LP) yang terdiri dari lembaga-lembaga yang telah memiliki badan hukum Indonesia hanya cukup mendaftar sebagai LP untuk SVLK di BP. Untuk Lembaga Akreditasi, Menteri Kehutanan mempunyai hak prerogratif dalam memilih lembaga Akreditasi ini. Pada saat ini Lembaga Akreditasi yang ada untuk Pengelolaan Hutan di Indoesia adalah Lembaga Ekolable Indonesia (LEI). Selain LEI, lembaga lain yang berhubungan dengan Akreditasi Produk Kayu adalah Komisi Akreditas Nasional (KDN), Namun, siapa yang kelak menjadi Lembaga Akreditasi ini akan menjadi wewenang pilihan dari pak Menteri.

Kapan SVLK resmi dilaksanakan?

Setelah 5 tahun dalam penyusunan SVLK ini tampaknya wajar kalau pertanyaan tersebut diutarakan. Namun, proses penyempurnaan Standar dan Kelembagaan SVLK masih terus berjalan. Lambatnya proses dan tidak adanya kepastian terhadap bentuk resmi standar dan kelembagaan SVLK dari Pemerintah bisa membuat harapan pasar untuk kayu Indonesia akan menjadi semakin lemah. Apabila dikaitkan dengan agenda negara ini dalam satu tahun mendatang yaitu Pesta Demokrasi Nasional (Pemilu) dan kemudian peralihan kepemimpinan nasional, maka nampaknya akan menjadi pesimis bahwa SVLK secara resmi diluncurkan pada kurun waktu tersebut.
Mungkin sebenarnya pasar bukan menginginkan SVLK, tetapi yang diinginkan adalah keterbukaan dalam pengaturan dalam tata usaha kayu sehingga semua produk kayu yang masuk ke pasar bisa diketahui oleh publik terhadap keabsahan legalitasnya termasuk mengetahui dari petak pohon mana produk tersebut ditebang, kawasan hutan atau bukan, pemiliknya siapa, bagaimana yang mengelola hutannya, dan sebagainya. Apapun bentuk sistem dan kelembagaan yang ingin digunakan yang penting bisa menjelaskan proses kesemua (transparansi) itu pada pasar, maka respon positif terhadap harga produk bersangkutan akan meningkat.
(diposkan oleh StepiH dalam www.fahutanipb.com)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar