Kesepahaman terhadap Standar & Kelembagaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)
Terlepas dari pendapat banyak orang
bahwa timbulnya verifikasi legalitas kayu adalah akibat dari
“permintaan pasar”, tetapi dalam kenyataannya legalitas untuk kayu
Indonesia bagi pasar Internasional memang sangat diperlukan dengan
melihat banyaknya bukti-bukti di media massa terhadap penangkapan
kayu-kayu yang tidak legal (illegal).
Tahun 2003 inisiasi untuk membangun
standar legalitas kayu diawali dengan mengidentifikasi pengertian atau
definisi terhadap kegiatan yang tidak legal pada pengusahaan/pembalakan
hutan dari dalam hutan sampai dengan peredaran kayu untuk industri.
Sampai dengan tahun 2008, standar dan
kelembagaan untuk sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) tersebut
belum secara utuh memperoleh kesepahaman diantara para pihak pemegak
kepentingan (multi-stakeholders) terutama bagi pihak-pihak yang kelak akan menggunakan sistem tersebut.
Kertas opini ini akan mencoba mengupas
beberapa hal bagaimana sulitnya untuk memperoleh “kesepahaman” diantara
para pemegang kepentingan terhadap sistem verifikasi tersebut.
Definisi legalitas
Mencari pengertian atas definisi yang
tepat pada legalitas bukanlah hal yang mudah. Untuk menyikapi hal itu,
pengertian pada kegiatan pembalakan hutan yang tidak legal (illegal logging) kemudian yang dicari definisinya.
Berangkat dari definisi illegal logging
itu lah kemudian tantangan berikutnya terhadap definsi legalitas
menjadi bertambah, diantaranya adalah apakah legalitas yang dicari
adalah legalitas untuk kegiatan pengelolaan hutan (dari perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan, plus peredaran produk kayu sampai dengan
industri) atau terbatas saja pada kegiatan pemanfaatan hutan dalam hal
ini hanya untuk produk kayunya saja?
Jika yang dimaksud adalah legalitas
kegiatan pengelolaan hutan, maka standar tersebut akan mencakup dari
legalitas kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan menyentuh
legalitas peredaran kayu dari petak penebangan sampai dengan pengiriman
ke industri. Namun sebaliknya, apabila legalitas yang dimaksud adalah
legalitas untuk produk kayunya saja, maka standar akan mencakup
legalitas kegiatan peredaran atau penatausahaan kayu dari petak
penebangan sampai dengan pengiriman ke industri yang lebih populer
dengan isitilah lacak balak kayu.
Nampaknya, dari pengembangan standar
SVLK yang ada mengarah kepada kombinasi dari kedua unsur tersebut yaitu
produk kayunya namun isi dari standar itu tersebut memverifikasi
seluruh kegiatan pengelolaan hutan. Hal ini menimbulkan banyak pendapat
dari berbagai pihak. Salah satu keberatan yang diajukan adalah
bagaimana dengan keberadaan kewajiban sertifikasi (PHAPL) yang
dimandatorikan oleh Departemen Kehutanan terhadap kinerja perusahaan
kayu yaitu pada industri plywood, industri sawntimber, dan IUPHHK.
Apakah kewajiban ini akan menjadi tumpang tindih atau menjadi pelengkap
terhadap sistem verifikasi legalitas kayu? Jika tumpang tindih, maka
akan menjadi tambahan biaya bagi para pihak pengusaha kayu/industri
(apabila biaya verifikasi tersebut dibebankan kepada para pengusaha).
Berdasarkan dari peraturan perudangan
yang ada dari Departemen Kehutanan, keabsahan suatu legalitas produk
kayu dibuktikan dengan adanya surat keterangan sahnya hasil hutan
(skshh) yang dokumen tersebut dapat berupa surat keterangan sahnya kayu
bulat (SKSKB), faktur angkutan kayu bulat (FA-KB), dan faktur angkutan
kayu olahan (FA-KO). Dokumen-dokumen tersebut menyertai dengan
pengiriman produk kayunya sehingga apabila tanpa dokumen berarti kayu
tersebut tidak legal. Kegiatan untuk legalitas untuk produk tersebut
dilakukan secara rutin berdasarkan jumlah volume kayu yang beredar.
Apabila verifikasi yang diinginkan
berdasarkan peraturan perundangan yang ada dan yang akan diverifikasi
adalah legalitas produk kayunya, maka cakupan dari verifikasi tersebut
adalah pada peredaran kayunya dari petak penebangan sampai dengan pintu
industri. Ini sangat bermanfaat untuk membuktikan bahwa kegiatan
legalitas rutin yang dilaksanakan oleh petugas sesuai dengan jumlah
volume kayu yang beredar. Jika cakupan verifikasi melebar pada
pengelolaan hutan, maka verifikasi tersebut menjadi berubah dan bukan
lagi verifikasi legalitas kayu, tetapi verifikasi legalitas pengelolaan
hutan. Inilah yang menyebabkan mengapa tawaran SVLK tersebut belum
sepenuhnya diterima oleh berbagai pihak.
Mandatory versus Voluntary
Nuansa yang berkembang terhadap SVLK
ini adalah bahwa sistem tersebut akan dibuat menjadi Mandatory atau
dengan kata lain para penggusaha kayu ber “kewajiban” untuk menggunakan
sistem ini. Dikarenakan “mandatory”, maka seyogyanya pembiayaan proses
verifikasi dibebankan kepada pemerintah. Namun dengan keterbatasan
dana yang tersedia oleh Pemerintah, maka besar kemungkinan pembiayaan
terhadap proses verifikasi akan berangsur-angsur dibebankan kepada
pihak pengusaha. Hal ini membuat keberatan dari pihak pengusaha kayu.
Sewajarnya pihak pengusaha enggan untuk membiayai proses jasa ini
karena kegiatan verifikasi terhadap keabsahan legalitas kayu masih
menjadi domainnya pemerintah.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah
apabila pihak pengusaha kayu yang harus membayar atas jasa terhadap
proses verifikasi ini kepada Pemerintah, maka bayaran atas jasa
tersebut kepada Pemerintah tidak akan langsung diterima oleh Departemen
Kehutanan akan tetapi melalui prosedur sebagai mana pada mekanisme
PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), yaitu melalui Departemen
Keuangan. Dengan adanya birokrasi seperti demikian, alokasi dan jumlah
yang diterima bisa berkurang maupun dapat digunakan untuk kepentingan
lain sesuai dengan prioritas progam dari Departemen Kehutanan (hal yang
bisa terjadi adalah anggaran yang dialokasikan bukan untuk pembiayaan
sertifikasi).
Kekuatan Hukum terhadap Hasil dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)
Hasil dari proses verifikasi ini adalah
suatu dokumen sertifikasi SVLK yang berarti bahwa legalitas produk
kayu dari unit managemen bersangkutan telah diverifikasi pada periode
tertentu (direncanakan selama 3 tahun).
Namun, dokumen sertifikasi tersebut
tidak memiliki kekuatan hukum sebagai bukti legalitas produk kayunya.
Apabila suatu unit manajemen yang telah memperoleh sertifikasi dari
sistem verifikasi legalitas kayu kemudian pada suatu saat ternyata
peredaran produk kayu bersangkutan tidak disertakan dokumen-dokumen
kayu (skshh), maka produk kayu dari unit manajemen bersangkutan
diindikasikan tidak legal (illegal). Dokumen sertifikasi
tersebut dengan sendirinya tidak dapat digunakan oleh Unit Managemen
bersangkutan untuk dipakai sebagai bukti legalitas bahan produknya.
Dokumen sertifikasi tersebut hanya membuktikan bahwa pada periode
tertentu keabsahan legalitas produk kayu dari unit managemen telah
diverifikasi. Dokumen sertifikasi tersebut lebih berguna untuk
kepentingan pasar, yaitu untuk meyakinkan kepada pihak pembeli bahwa
legalitas kayu yang dijual telah dilakukan verifikasi.
Apabila dalam proses peradilan ternyata unit managemen divonis
bersalah, maka dengan serta merta dokumen sertifikasi SVLK pada unit
managemen tersebut menjadi batal atau dibekukan oleh Departemen
Kehutanan.
Namun karena sistem verifikasi ini
bersifat mandatory dan akan berlaku secara nasional, maka untuk para
pengusaha kayu yang belum mendapatkan sertifikasi ini dapat dikatakan
bahwa keabsahan legalitas atas produk kayunya masih dipertanyakan
(karena belum diverifikasi). Tidak berarti bahwa produk kayu tersebut
adalah tidak legal, akan tetapi besar kemungkinan produk tersebut tidak
akan mendapat respon positif oleh pasar (karena legalitas produknya
belum diverifikasi). Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa pada produk
kayu yang belum diverifikasi akan menjadi sasaran empuk bagi para
penegak hukum yang belum mengerti penuh terhadap sistem ini. Para
penegak tadi bisa berpikir bahwa jika produk belum diverifikasi
keabsahan legalitasnya, maka produk tersebut adalah illegal. Padahal,
tidak demikian.
Pengaturan Kelembagaan
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
memiliki beberapa lembaga dalam pengaturannya, diantaranya adalah Badan
Pelaksana, Lembaga Akreditasi, Lembaga Verifikasi, Lembaga
Penyelesaian Keberatan, dan Lembaga Pemantau. Tiap lembaga dan badan
tersebut memiliki fungsi dan tugas masing-masing yang pada umumnya
anggota dalam lembaga-lembaga tersebut terdiri dari unsur-unsur
berbagai pihak. Mengapa harus multi pihak? Hal ini untuk menjamin bahwa
proses dalam sistem ini adalah terbuka dan dapat diketahui oleh semua
pihak terhadap kegiatan verifikasi pada produk kayu bersangkutan.
Sehingga akan memberikan respon positif terhadap pasar baik nasional
maupun internasional.
Namun, kesemua lembaga dan badan
tersebut akan memperoleh mandat dari Departemen Kehutanan, terkecuali
untuk Lembaga Pemantau yang hanya perlu didaftarkan di Departemen
Kehutanan. Selama ini dalam organisasi Departemen Kehutanan yang
menangani pengelolaan dan pengaturan produksi hasil hutan berada dalam
naungan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Nampaknya SVLK ini
akan berada pada Ditjen tersebut, namun masih menjadi pertanyaan
apakah yang akan mengelola sistem ini berada di tingkat eselon 2 atau
malah harus eselon 1. Jika melihat sistem sertifikasi PHAPL yang ada,
sistem tersebut diurus oleh eselon 2. Mungkin untuk SVLK tidak
demikian, mengingat sistem ini nantinya memerlukan kewenangan untuk
mengkoordinir Direktorat-direktorat lainnya sehingga hal yang
memungkinkan adalah Badan Pelaksana dari SVLK ini ditempatkan pada
eselon 1 dan akan menjadi bagian dari tupoksi-nya Direktur Jenderal.
Apabila sistem SVLK ditempatkan pada eselon 2, maka dikhawatirkan
kewenangan untuk koordinasi tingkat eselon 2 dalam rangka verifikasi
terhadap beberapa komponen standar dalam SVLK menjadi terbatas.
Koordinasi ini sebaiknya langsung dilakukan oleh eselon 1 dan bukan
dari eselon 2. Apakah seorang Direktur Jenderal boleh merangkap sebagai
Ketua Badan Pelaksana mengingat dalam Badan Pelaksana itu akan ada
komisi-komisi, yaitu Komisi Lisensi dan Pengembangan Standar dan Komisi
Akreditasi? Berdasarkan dari peraturan perundangan yang ada, hal
tersebut masih memungkinan (PerPres No.10/2005 Pasal 26 Ayat 4) karena
tugas dari Ditjen Bina Produksi Kehutanan adalah merumuskan serta
melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan
produksi kehutanan. Dengan kata lain, SVLK akan menjadi standarisasi
teknis dan akan menjadi tepat apabila pengaturan dan pengelolaan SVLK
dibawah eselon 1 pada Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
Anggota dari Badan Pelaksana (BP)
merupakan perwakilan dari unsur-unsur Pemerintah, Akademisi, LSM,
Bisnis, dan Masyarakat. Hal ini juga berlaku untuk Lembaga Penyelesaian
Keberatan (LPK) yang juga merupakan perwakilan dari unsur-unsur
Pemerintah, Akademisi, LSM, Bisnis, dan Masyarakat. Lembaga Pemantau
(LP) yang terdiri dari lembaga-lembaga yang telah memiliki badan hukum
Indonesia hanya cukup mendaftar sebagai LP untuk SVLK di BP. Untuk
Lembaga Akreditasi, Menteri Kehutanan mempunyai hak prerogratif dalam
memilih lembaga Akreditasi ini. Pada saat ini Lembaga Akreditasi yang
ada untuk Pengelolaan Hutan di Indoesia adalah Lembaga Ekolable
Indonesia (LEI). Selain LEI, lembaga lain yang berhubungan dengan
Akreditasi Produk Kayu adalah Komisi Akreditas Nasional (KDN), Namun,
siapa yang kelak menjadi Lembaga Akreditasi ini akan menjadi wewenang
pilihan dari pak Menteri.
Kapan SVLK resmi dilaksanakan?
Setelah 5 tahun dalam penyusunan SVLK
ini tampaknya wajar kalau pertanyaan tersebut diutarakan. Namun, proses
penyempurnaan Standar dan Kelembagaan SVLK masih terus berjalan.
Lambatnya proses dan tidak adanya kepastian terhadap bentuk resmi
standar dan kelembagaan SVLK dari Pemerintah bisa membuat harapan pasar
untuk kayu Indonesia akan menjadi semakin lemah. Apabila dikaitkan
dengan agenda negara ini dalam satu tahun mendatang yaitu Pesta
Demokrasi Nasional (Pemilu) dan kemudian peralihan kepemimpinan
nasional, maka nampaknya akan menjadi pesimis bahwa SVLK secara resmi
diluncurkan pada kurun waktu tersebut.
Mungkin sebenarnya pasar bukan
menginginkan SVLK, tetapi yang diinginkan adalah keterbukaan dalam
pengaturan dalam tata usaha kayu sehingga semua produk kayu yang masuk
ke pasar bisa diketahui oleh publik terhadap keabsahan legalitasnya
termasuk mengetahui dari petak pohon mana produk tersebut ditebang,
kawasan hutan atau bukan, pemiliknya siapa, bagaimana yang mengelola
hutannya, dan sebagainya. Apapun bentuk sistem dan kelembagaan yang
ingin digunakan yang penting bisa menjelaskan proses kesemua
(transparansi) itu pada pasar, maka respon positif terhadap harga
produk bersangkutan akan meningkat.
(diposkan oleh StepiH dalam www.fahutanipb.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar