DAS, Banjir, dan Kekeringan (di Sumatera Utara)
[diterbitkan pada harian Waspada, kolom opini, Jumat, 4 Mei 2012]
Banjir dan kekeringan silih berganti menghampiri kita setiap tahun. Saat
musim hujan, hampir selalu disertai dengan banjir atau malah banjir
bandang. Seperti tahun lalu, dua banjir besar melanda Kota Medan,
tepatnya pada tanggal 6 Januari dan 1 April 2011. Korban harta, nyawa,
rusaknya infrastruktur, terganggunya aktivitas sosial dan kerugian
ekonomi merupakan keniscayaan yang harus ditanggung karena bencana
banjir itu.
Lalu, ketika kemarau tiba, air dari PDAM seret, macet dan mampet karena
kesulitan air sumber bahan baku, jika pun ada, airnya sudah tercemar,
sehingga perlu biaya lebih mahal dan waktu lebih lama untuk mengolahnya.
Areal persawahanpun kering kerontang karena bendunganpun air menurun
drastis akibat debit sungai yang jauh berkurang. Fenomena banjir atau
banjir bandang dan kekeringan yang menerpa Kota Medan ini menunjukkan
daerah aliran sungai (DAS) yang mencakup Kota Medan dalam kondisi rusak
atau kritis.
Meluruskan pemahaman tentang DAS
Seorang prosesor di salah satu universitas ternama di Sumatera Utara
dalam satu seminar bertanya: “apakah itu DAS?” Pada slide sang profesor
terpampang gambar sungai. Melihat para peserta hening, lalu, sang
profesor itu berkata “hampir seluruh mahasiswa pascasarjana di kelas
saya yang diantaranya banyak juga para pejabat daerah yang sedang studi
lanjut itu menjawab DAS itu adalah sungai, seperti terpampang dalam
slide itu.” Jelas jawaban itu, salah kata sang profesor.
Seorang pejabat kementerian yang menceritakan pengalamannya disorot
tajam oleh anggota DPR yang terhormat di suatu rapat “mengapa usulan
rehabilitasi lahannya ini di DAS lagi? Bukankah tahun lalu sudah di DAS,
apakah tidak ada lahan lagi, selain DAS?” Nah ini, contoh anggota DPR
yang merasa benar, namun lupa memahami undang-undang (UU) yang dibuat
DPR dan pemerintah. Jika ditanyakan balik “kalau bukan di DAS, lalu
rehabilitasi lahan dimana lagi, bapak/ibu anggota dewan yang terhormat?”
Nah, loh.
Pada media massa juga sering melakukan kesalahan serupa, seperti “jangan
membangun permukiman di DAS, nanti kebanjiran.” Atau ada kalimat lain
“waspada banjir di musim penghujan, terutama bagi penduduk yang bermukim
di sepanjang DAS.” Kalau bukan di DAS, lalu mau mendirikan permukiman
dimana lagi?
Jadi, banyak yang mengira DAS itu adalah sungai atau daerah bantaran
sungai, seperti dalam beberapa dialog dan publikasi contoh di atas.
Kesalahan pemahaman terkait DAS itu hampir merata di sebagian besar
lapisan kelompok sosial. Akibatnya banyak waktu dan energi terbuang
percuma. Demikian pula, kesalahan pemahaman ini juga berdampak pada
kesalahan dalam merencanakan program solusi terhadap permasalahan
sebenarnya yang melekat pada DAS yaitu: banjir dan kekeringan.
Lalu apa sesungguhnya DAS itu? Kunci pertama untuk memahami DAS dengan
benar adalah bahwa seluruh wilayah daratan termasuk sungai di dalamnya
terbagi habis dalam unit-unit DAS. Hal ini secara jelas tertulis dalam
UU No 7/2004 Pasal 1 yang menyatakan DAS adalah suatu wilayah daratan
yang merupakan satu kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak
sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang
berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di
darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan
daerah pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Jadi, DAS itu tidak sama dengan sungai, atau bukan hanya sungai saja
atau bukan pula hanya daerah bantaran atau kiri kanan sungai. Sungai,
anak sungai, dan bantaran sungai itu hanya bagian dari suatu DAS.
Sehingga, satu unit DAS itu terdiri dari (1) satu sungai utama yang
mengalirkan airnya langsung ke laut, serta (2) anak-anak sungai yang
airnya mengalir ke sungai utama tadi, dan (3) daerah daratan yang
apabila hujan, air permukaan dan butiran erosi tanah atau benda apa saja
yang dibawanya akan mengalir ke anak-anak sungai atau langsung ke
sungai utama tersebut, sehingga mempengaruhi kuantitas dan kualitas air
sungai tersebut.
Setiap unit DAS diberi nama dengan nama sungai yang bermuara ke laut
langsung. Misalnya DAS Deli, karena sungai Deli langsung bermuara ke
laut. Bagaimana dengan daerah-daerah yang mengalirkan airnya ke sungai
Babura? Daerah-daerah tersebut beserta sungai Baburanya merupakan bagian
dari DAS Deli, yang diberi nama dengan Sub-DAS Babura. Atau dengan kata
lain, sungai Babura itu merupakan anak dari sungai Deli. Mengapa?
Karena air dari sungai Babura tidak bermuara langsung ke laut, namun
bermuara ke sungai Deli.
Indikator kesehatan DAS
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa suatu DAS yang baik (dengan
hutan yang masih baik dan dengan luasan kawasan berhutan yang cukup)
akan mampu penampung dan penyimpan curah hujan menjadi air tanah. Hanya
sekitar 0,1 – 10% saja dari curah hujan yang akan langsung mengalir ke
sungai atau menjadi aliran permukaan (run off), sedangkan 90 –
99,9% dari curah hujan yang terjadi pada DAS yang baik akan diresapkan
ke dalam tanah. Sehingga peluang terjadinya banjir pada DAS yang masih
baik akan sangat-sangat kecil dibandingkan DAS yang rusak.
Demikian pula sebaliknya, bila DAS rusak maka kemampuannya dalam
menampung dan menyimpan air hujan turun drastis. Ketika hujan terjadi,
hampir seluruh air hujan akan langsung menjadi aliran permukaan,
mengalir ke sungai dalam waktu bersamaan. Meluap, dan jadilah air bah!
Ini bukan bencana alam, tapi adalah bencana ekologis!
Penutupan hutan memegang peranan penting dalam pengaturan sistem
hirologi, terutama “efek spons” yang dapat menyekap air hujan dan
mangatur pengalirannya sehingga mengurangi kecenderungan banjir dan
menjaga aliran air di musim kemarau. Fungsi tersebut akan hilang jika
hutan di daerah DAS yang lebih tinggi hilang atau rusak. Di seluruh
wilayah tropika, 90 % petani di dataran rendah tergantung pada kegiatan
10 % masyarakat yang tinggal di daerah hulu sungai. Salah satu contoh
penting di dunia adalah DAS Sungai Gangga, dimana 40 juta penduduk yang
tinggal di pegunungan Himalaya mempengaruhi 500 juta penduduk di dataran
rendah (MacKinnon et al, 1990).
Suatu DAS yang baik dengan tutupan vegetasi yang cukup dan bertingkat
akan mencegah erosi tanah. Mengapa demikian? Erosi tanah secara alami
terjadi bila tanahnya terbuka, sehingga ketika hujan, butiran-butiran
air hujan akan memecahkan butiran tanah dan kemudian terbawa oleh aliran
air hujan tersebut. Kehadiran hutan dan tutupan vegetasi lainnya yang
tersusun secara bertingkat akan mengurangi energi kinetik butiran hujan
sehingga butiran tanah tidak jadi pecah dan akhirnya erosi tanah tidak
terjadi atau kecil sekali.
Pada DAS yang rusak, erosi tanah inilah yang menyebabkan sungai-sungai
menjadi dangkal. Semakin terbuka lahannya dan tidak ada jalur hijau atau
sabuk pengaman berupa tutupan vegetasi yang cukup di daerah bantaran
sungai, maka erosi tanah akan langsung masuk sungai tanpa halangan dan
pendangkalan sungai akan semakin cepat terjadi. Pada akhirnya, apabila
ini terus berlangsung, hal ini akan menjadi salah satu faktor pemicu
banjir pada musim penghujan, apalagi disertai konversi daerah resapan
air menjadi daerah terbangun: permukiman, industri dan sejenisnya. Oleh
karena itu, praktek pengelolaan lahan, sebagai akibat kebijakan
pengelolaan lahan sangat berperan penting terjadi atau tidaknya
pendangkalan sungai dan banjir.
Inilah salah satu alasan kenapa dalam UU No 26 tahun 2007 tentang Tata
Ruang mengamanatkan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS)
berupa kawasan hutan dalam rangka pelestarian lingkungan hidup (pasal 17
ayat 5). Namun ironinya di bagian utara Sumatera Utara, hanya 4 dari 20
unit DAS yang luas tutupan hutannya yang memenuhi syarat UU No 26 tahun
2007 itu. Ini adalah buah kebijakan pengelolaan lahan yang hanya
mencari keuntungan ekonomi atau PAD semata tanpa mempertimbangkan faktor
resiko. Misalnya, lahan basah dikasih izin untuk permukiman. Sehingga
wajar, banjir dan kekeringan silih berganti datang setiap tahunnya.
Salah satu indikator utama DAS yang sehat adalah dari ketersediaan air,
baik jumlah, distribusi (menurut waktu dan ruang) maupun kualitas
airnya. Pada DAS yang sehat, air akan tersedia sepanjang tahun, demikian
pula debit air sungai akan mengalir sepanjang tahun tanpa perbedaan
yang mencolok antara musim penghujan dan kemarau. Dengan demikian,
banjir tidak hadir pada musim penghujan, dan sebaliknya kekeringan tidak
menerpa di masa kemarau. Kondisi ini juga menunjukan kinerja
pengelolaan DAS berjalan secara baik.
Bagaimana di wilayah anda, pembaca?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar