Manufacturing Hope The Series
Manufacturing Hope 1
Industri apakah yang harus pertama-tama dibangun di BUMN? Setelah sebulan
menduduki jabatan menteri negara badan usaha milik negara (BUMN) dan setelah
mengunjungi lebih dari 30 unit usaha milik publik ini, saya bertekad untuk
lebih dulu membangun industri yang satu ini: manufacturing hope!
Industrialisasi harapan.
Itu bisa saya lakukan setelah saya berketetapan hati untuk lebih memerankan
diri sebagai seorang chairman/CEO daripada seorang menteri. Kepada jajaran
Kementerian BUMN, saya sering” bergurau “lebih baik saya seperti chairman saja
dan biarlah wakil menteri BUMN yang akan memerankan diri sebagai menteri yang
sebenarnya”.
Sebagai chairman/CEO Kementerian BUMN, saya akan lebih fleksible, tidak
terlalu kaku, dan tidak terlalu dibatasi oleh tembok-tembok birokrasi. Dengan
memerankan diri sebagai chairman/CEO, saya akan mempunyai daya paksa kepada
jajaran korporasi di lingkungan BUMN.
Meski begitu, saya akan tetap ingat batas-batas: seorang chairman/CEO
bukanlah seorang president director/CEO. Ia bisa mempunyai daya paksa, tapi
tidak akan ikut melaksanakan. Tetaplah penanggung jawab pelaksanaannya adalah
president director/CEO di masing-masing korporasi BUMN.
Dengan peran sebagai chairman/CEO, saya tidak akan sungkan dan tidak akan
segan-segan ikut mencarikan terobosan korporasi. Ini sesuai saja dengan arahan
Presiden SBY bahwa menteri yang sekarang harus bisa berlari kencang. Dengan
memerankan diri sebagai chairman/CEO, saya akan bisa memenuhi harapan tersebut.
Tengoklah, misalnya, bagaimana kita harus menghadapi persoalan hotel-hotel
BUMN kita yang berada di Bali. Semuanya sudah berpredikat yang paling buruk.
Inna Kuta Hotel sudah menjadi yang terjelek di kawasan Pantai Kuta. Inna Sanur
(Bali Beach) sudah menjadi yang terjelek di kawasan Pantai Sanur. Inna Nusa Dua
(Putri Bali) sudah pasti menjadi yang terjelek di kawasan Nusa Dua yang
gemerlapan itu. Bukan hanya yang terjelek, tapi juga sudah mau ambruk.
Padahal, pada zaman dulu, hotel-hotel ini tergolong yang terbaik di
kelasnya. Kini, di arena bisnis perhotelan di Bali, hotel-hotel BUMN telah
menjadi lambang kemunduran, keruwetan, dan kekumuhan.
Memang pernah ada upaya untuk bangkit. Direksi kelompok hotel ini (Grup PT
Hotel Indonesia Natour) pernah diperbarui. Bahkan tidak tanggung-tanggung.
Jajaran direksinya diambilkan dari para profesional dari luar BUMN.
Dengan semangat profesionalisme, grup ini?ingin mulai merombak dua hotelnya:
di Padang dan di Kuta. Tapi, dua-duanya mengalami kesulitan. Yang di Padang
over investasi. Yang di Kuta sudah enam bulan mengalami slow-down. Yang di
Padang itu bisa disebut over investasi karena?jumlah kamarnya jauh lebih besar
daripada pasarnya. Ini akan sangat sulit mengembalikan investasinya. Sedangkan
yang di Kuta ada persoalan desain yang cukup serius.
Mengapa yang di Padang bisa terjadi over investasi” Ini tak lain karena
kultur BUMN yang belum bisa menghindar dari intervensi. Begitu ada perintah
untuk membangun hotel dengan skala yang sangat besar, direksinya tidak mampu
meyakinkan bahwa skala itu kebesaran. Terutama dilihat dari kemampuan
perusahaan. Permasalahan yang di Kuta lebih rumit lagi karena ketambahan
masalah birokrasi.
Dua proyek ini kemudian menjadi isu yang ruwet. Ujung-ujungnya, direktur
utama yang didatangkan dari luar BUMN itu tidak tahan lagi dan mengundurkan
diri. Dalam suasana ruwet seperti itu, tidak mungkin perusahaan bisa maju.
Bahkan, moral manajemen dan karyawannya pun bisa rusak, down, dan lalu putus
harapan.
Maka, dalam kesempatan tiga hari menghadiri KTT ASEAN di Bali pekan lalu,
saya manfaatkan waktu untuk manufacturing hope. Selama di Bali, saya tidak
tidur di hotel bintang lima di kompleks KTT berlangsung, tapi memilih tidur di
Inna Hotel Kuta yang katanya terjelek itu. Saya ingin ikut merasakan kesulitan
manajemen dan karyawan di hotel tersebut. Saya ingin mendalami persoalan yang
menghadang mereka. Pagi-pagi saya turun naik di proyek setengah jadi itu.
Menjelang senja kembali turun naik lagi entah sampai berapa kali. Saya
ingin, kalau bisa, menerobos hambatannya. Setidaknya saya ingin mereka tidak
merasa sendirian dalam kesulitannya. Bahkan, pada malam kedua, saya tidur di
kamar mock-up di tengah-tengah proyek yang lagi slow-down itu. Saya melakukan
ini tidak lain untuk manufacturing hope.
Hasilnya, insya Allah, cukup baik. Pada hari kedua, semua persoalan bisa
teruraikan. Proyek hotel yang sangat grand ini bisa dan harus berjalan kembali.
Bahkan, tahun depan harus sudah jadi. Diputuskanlah hari itu: sebuah hotel baru
dengan nama baru (Grand Inna Kuta) akan lahir dan menjadi sangat iconic.
Apalagi, letaknya hanya di seberang Hard Rock Hotel dengan posisi yang jauh
lebih baik karena langsung punya akses ke Pantai Kuta.
Pun, selesai upacara pembukaan KTT ASEAN (selesai melihat cantiknya Perdana
Menteri Thailand yang baru, Yingluck Sinawatra) saya copot jas, ganti sepatu
kets, dan langsung meninjau luar dalam Hotel Inna Putri Bali. Lokasinya tidak
jauh dari gedung megah untuk KTT ASEAN di Nusa Dua itu.
Saya perhatikan mulai dapurnya, ruang cucinya, kamarnya, kebunnya,
pantainya, hingga cottage-cottage-nya. Ternyata benar. Bukan hanya telah
menjadi yang terjelek di Nusa Dua, tapi juga sudah mau ambruk. Di sini saya
juga harus manufacturing hope. Tahun depan hotel yang sangat luas ini harus
sudah mulai dibangun ulang.
Setelah membuat keputusan soal Nusa Dua, malam ketiga saya memilih tidur di
Sanur. Hotel seluas (duile!) 41 hektare ini juga perlu dibangkitkan. Inilah
hotel berbintang yang pertama di Bali. Inilah warisan Bung Karno. Kondisinya
sudah kalah dengan tetangga-tetangganya. Hotel ini memiliki garis pantai
matahari terbit sejauh 1 km! Alangkah hebatnya. Mestinya.
Saya tentu menginginkan tahun depan hotel besar ini juga ikut bangkit.
Mengapa? Sebab, tiga-tiganya berada di Bali. Sebuah kawasan wisata yang
pertumbuhannya sangat tinggi. Memang Grup Inna Hotel masih punya puluhan hotel
lainnya di seluruh Indonesia (dan umumnya juga dalam keadaan termehek-mehek),
namun sebaiknya fokus dulu di tiga hotel ini. Dari sinilah kelak hope akan
ditularkan ke seluruh Indonesia.
Tiga hotel besar inilah yang lebih dulu akan menjadi titik tolak kebangkitan
entah berapa banyak hotel BUMN ke depan. Saya sebut “entah berapa banyak”
karena banyak BUMN yang kini juga memiliki hotel. Grup Inna punya banyak hotel.
Garuda Indonesia punya banyak hotel.
Pertamina punya banyak hotel. Kontraktor seperti Perusahaan Perumahan punya
banyak hotel. Bahkan, Jasa Marga, konon, juga sedang menyiapkan banyak hotel.
Karena itu, keberhasilan tiga pioner di Bali tadi akan besar artinya bagi BUMN.
Memang sebulan pertama ini baru hope yang bisa dibangun. Tapi, kalau sebuah
hope bisa membuat hidup kita lebih bergairah, mengapa kita tidak manufacturing
hope. Bahan bakunya gampang didapat: niat baik, ikhlas, kreativitas, tekad, dan
totalitas. Semuanya bisa diperoleh secara gratis!
Menteri Negara BUMN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar